Indonesia Tanpa Korupsi, Bukan Sekedar Ilusi
Bujurnews – Praktik pungutan liar atau pungli di lingkungan rumah tahanan (rutan) KPK saat ini tengah menjadi sorotan.
Dengan nominal yang mencapai Rp 4 miliar. Kasus ini mencuat setelah Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengumumkan adanya temuan praktik pungli di lingkungan rutan KPK.
Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean menyebut, temuan itu didasari atas inisiatif penyelidikan yang dilakukan oleh Dewas.
“Untuk itu dewan pengawas telah menyampaikan kepada pimpinan KPK agar ditindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan,” kata Tumpak dalam konferensi pers di Gedung ACLC KPK pada Senin, (19/6/2023)
Tumpak juga mengatakan, dalam temuan Dewas KPK tersebut, ada dua unsur pelanggaran yang dapat diselidiki lebih lanjut, yakni dugaan pelanggaran etik dan unsur tindak pidana.
“Ini sudah merupakan tindak pidana, melanggar Pasal 12 huruf c, UU 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2021. Selanjutnya tentunya dewan pengawas juga akan memeriksa masalah etiknya,” ujar Tumpak.
Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK, Ali Fikri mengatakan, pihaknya juga menerima beberapa aduan dari masyarakat mengenai sejumlah modus korupsi di lapas. Modus itu antara lain, dugaan pungutan liar, suap-menyuap, penyalahgunaan wewenang hingga pengadaan barang dan jasa.
“KPK telah melakukan identifikasi terhadap pengelolaan lapas, yang juga diduga merupakan salah satu sektor yang rentan terjadinya tindak pidana korupsi,” sebutnya.
Menurut Ali, KPK juga telah menemukan sejumlah persoalan di dalam lapas. Temuan ini mengacu pada hasil kajian Kedeputian Pencegahan dan Monitoring.
Beberapa masalah itu antara lain, timbulnya kerugian negara karena masalah lapas yang kelebihan kapasitas (overload), mengistimewakan narapidana kasus korupsi di rutan atau lapas.
Kemudian, mekanisme check and balance pejabat dan staf unit pelaksana teknis di rutan atau lapas dalam memberikan remisi ke warga binaan pemasyarakatan, resiko menyalahgunakan kelemahan sistem data pemasyarakatan (SDP) hingga korupsi pada penyediaan bahan dan makanan.
Berkaca dari temuan kajian itu, KPK menilai tata kelola lapas harus segera diperbaiki. Dengan mencuatnya temuan kasus ini, integritas lembaga dan pegawai KPK perlu untuk dipertanyakan.
Orang-orang yang dipilih menjadi pegawai atau penyidik KPK seharusnya memiliki integritas tinggi dalam memerangi korupsi, karena merekalah tumpuan dan harapan bagi rakyat Indonesia agar korupsi tidak terus menyubur di lembaga pemerintah.
Namun, apa daya, sistem demokrasi sekuler bisa menggerus itu semua. Demi materi , integritas tergadaikan. Demi uang, kejujuran dikorbankan. Demi nafsu kekuasaan, amanah pun bisa dikhianati.
Semakin jelas dan nyata bagaimana bobroknya sistem sekuler ini, darinya lahir sistem pemerintahan demokrasi yang menyuburkan berbagai kerusakan dan kemaksiatan. Di antaranya melahirkan pejabat korup di semua sisi, diakui maupun tidak. Dari korupsi kelas teri, seperti pungli, hingga kelas kakap, seperti suap miliaran.
Di sisi lain, sistem sekularisme tidak membentuk ketakwaan yang menjadikan tiap individu mampu menjaga diri dari godaan harta dunia dan saling menasihati antar individu jika ada yang berbuat curang atau menipu rakyat. Yang terjadi, mereka justru melakukan korupsi berjemaah tanpa malu dengan perbuatan maksiatnya.
Dalam sistem sekularisme yang dibangun dari asas manfaat dan motif materi, wajar jika lahir manusia-manusia rakus. Perilaku korupsi pun bisa dianggap perbuatan yang biasa ketika masyarakat sudah bersikap permisif terhadap korupsi dan tidak membangun sikap antikorupsi.
Ketika korupsi sudah menjadi semacam kebiasaan atau tradisi di berbagai lini kekuasaan atau departemen yang notabene para pemangku kebijakan dan pelaksana undang-undang menunjukkan bahwasanya korupsi bukan sekadar masalah moral individual yang bobrok.
Akan tetapi, budaya korupsi telah terjadi secara lestari. Hal seperti ini tidak akan mungkin bisa berjalan kalau tidak ditopang oleh sebuah sistem yang memunculkan ekosistem korupsi ini. Dengan realitas sistem demokrasi semacam ini, jelas korupsi tidak akan pernah berhenti. Bahkan, bisa makin menjadi-jadi, sebagaimana saat ini.
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, memiliki sejumlah aturan yang telah terbukti mampu menyelesaikan persoalan korupsi di tubuh pejabat.
Pertama, sistem politik Islam berlandaskan akidah Islam. Para politisi menginginkan jabatan bukan untuk kepentingan dunia, tetapi kepentingan akhirat. Ini karena Allah Swt. menghadiahkan surga bagi para pemimpin yang amanah dalam mengurusi umat.
Kedua, kekuasaan di dalam sistem politik Islam bersifat tunggal, yakni di tangan Khalifah. Ini akan menghilangkan potensi korupsi anggaran dan terciptanya oligarki. Kontestasinya tidak membutuhkan para cukong politik. Pembuatan anggaran pun langsung di bawah kontrol Khalifah.
Ketiga, Islam memiliki tiga pilar dalam menegakkan aturan, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan penerapan aturan dalam negara. Walhasil, Islam akan mampu menyelesaikan kasus korupsi dengan tuntas. Ketakwaan individu akan menjadikan para pejabat tergiur pada pahala, bukan harta.
Dari sini, ada kontrol internal untuk pencegahan dari tindak korupsi. Selanjutnya, kontrol masyarakat dan sesama pejabat. Mayoritas pejabatnya bersih sehingga mereka tidak akan segan melaporkan pejabat lain yang terlibat korupsi. Begitu pun rakyat, akan terus mengawasi dan memuhasabahi para penguasa yang lalai akan amanahnya dan terjerumus pada dosa korupsi.
Kemudian penerapan aturan yang sesuai syariat oleh negara dan pemberian sanksi yang tegas. Aturan Allah tidak akan menimbulkan celah untuk terjadinya korupsi. Sistem sanksi dalam Islam pun sangat menjerakan. Hukuman bagi para koruptor termasuk takzir, yaitu bentuk dan kadarnya ditentukan oleh Khalifah. Bisa berupa penjara hingga hukuman mati jika terbukti menyebabkan kerugian untuk umat. Inilah yang akan menjerakan pelaku dan secara otomatis akan menghentikan tindak pidana korupsi.
Persoalan korupsi dan pangkal korupsi di negeri ini adalah penerapan sistem demokrasi yang berasaskan sekuler. Semakin diselesaikan dengan cara ini maka akan menambah persoalan baru karena tidak menyentuh kepada akar masalah.
Sehingga, untuk menyelesaikannya dan sampai ke akar masalah haruslah menggantinya dengan sistem pemerintahan yang shohih yaitu sistem Islam, yang berlandaskan akidah Islam, sebuah sistem yang sesuai fitrah manusia. Maka saatnya memahami Islam haruslah menyeluruh dan menerapkannya secara sempurna agar terwujud Islam Rahmatan Lil’alamin.
Penulis : Alin lizia Anggraeni,SE