Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Meningkat, Butuh Solusi Menyeluruh
Bujurnews, Opini – Perempuan dan anak merupakan kelompok yang rentan terhadap kekerasan baik fisik maupun psikis. Kekerasan terhadap perempuan dan anak kerap terjadi di sekitar kita. Di Kaltim pun hal ini menjadi isu yang cukup riuh.
Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Paser, terdapat 15 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jumlah kasus tersebut terhitung sejak Januari hingga Mei 2023, dengan jenis kasus kekerasan yang berbeda-beda.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten paser, Amir Faisol mengatakan terdapat 11 kekerasan terhadap perempuan serta 4 kasus kekerasan terhadap laki-laki.
“Dari 15 kasus, kita rincikan lagi kekerasan fisik 3 kasus, psikis 5 kasus, seksual 3 kasus, perebutan hak asuh anak 2 kasus, dan penelantaran anak 2 kasus, jadi ada 15 kasus yang ditangani UPTD PPA,” ungkap Amir.
Sedangkan berdasar data penginputan kasus dalam aplikasi SIMFONI PPA Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kaltim, hingga 1 Mei 2023 ini ada 282 kasus tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak. Kasus terbanyak terjadi di Kota Samarinda, 157 kasus. Hanya Mahakam Ulu yang tidak ada catatan kasus.
Kasi Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) DKP3A Kaltim, Fahmi Rozano mengungkapkan Lebih rinci, hingga 1 Mei 2023 korban kekerasan anak mencapai 172 kasus, sedangkan kekerasan yang terjadi pada orang dewasa sebanyak 137 kasus.
Mengapa Masalah Ini Terus Berulang? Kasus kekerasan sebenarnya sudah lazim terjadi. Mulai dari kekerasan verbal hingga penghilangan nyawa.
Korbannya tidak hanya perempuan, tetapi bisa anak-anak atau laki-laki. Jadi kekerasan bukan hanya masalah gender, Korban dan pelaku kekerasan saat ini bisa siapa saja, bukan hanya perempuan dan anak.
Hampir semua kasus kekerasan dipicu oleh kondisi labil psikis si pelaku. Kondisi psikis ini dipicu oleh banyak faktor, mulai dari faktor ekonomi, kekecewaan terhadap perilaku korban atau akibat paparan perilaku kekerasan yang kerap dipertontonkan oleh media.
Kemudian diperparah oleh hilangnya fungsi kontrol masyarakat, serta lemahnya sistem pendidikan dan sistem hukum kita, yang membuat kekerasan demikian mudah dilakukan.
Kesempatan berbuat jahat demikian terbuka lebar tanpa ada yang siap mencegah dan tanpa ada kekuatan hukum yang mampu membuat siapa pun berpikir ulang untuk melakukan berbagai bentuk tindak kekerasan.
Selain itu meskipun ada hukum yang berlaku, tetapi itu juga belum mampu memberikan efek jera kepada yang lain bahkan kepada pelaku sendiri.
Tidak sedikit pelaku melakukan hal yang sama kembali. Tingginya kasus kekerasan tidak berdiri sendiri, tetapi ada masalah sistemis sebagai konsekuensi logis dari penerapan sistem hidup yang salah, yang bersifat sekuler liberalistik.
Penerapan sistem sekularisme liberallah yang nyatanya menjadi biang merebaknya kekerasan, bahkan telah banyak memunculkan kerusakan lain di tengah masyarakat. Standar dalam mengambil sebuah kebijakan adalah manfaat, untung dan rugi.
Berbicara untung dan rugi maka tak lepas dari system ekonomi yang dibangun di atas asas sekulerisme ini yaitu ekonomi kapitalis. Penguasaan sumber daya alam oleh swasta membuat kekayaan akan berpihak pada para pemilik modal dan ini menyebabkan kemiskinan structural. Rakyat tak lebih sebagai penonton saja, angka kemiskinan yang menurun secara data berbeda dengan fakta di masyarakat. Persaingan kerja, kerasnya kehidupan, control masyarakat kurang maka kasus kekerasan menjadi lebih sering terjadi dalam keluarga sebagai bentuk ekspresi yang terpendam.
Semakin diperparah ketika hubungan manusia dalam masyarakat sekuler liberal hanya dibangun dengan asas manfaat dan kebebasan, bukan asas kemanusiaan, apalagi nilai-nilai ruhiyah dan moral yang memuliakan peradaban. Akibatnya, hubungan personal pun menjadi kering dari nilai-nilai kebaikan. Semua diabdikan untuk memuaskan nafsu dan keserakahan. Hingga segala bentuk kerusakan pun dengan mudah merebak, bahkan menjadi budaya, termasuk kekerasan.
Di lain pihak, para penguasa hanya sibuk melakukan pencitraan. Tidak peduli apakah rakyat sejahtera ataukah tidak. Dalam keadaan baik atau tidak. Akibatnya, penguasa umat ini pun tidak peduli bahwa kebijakan-kebijakan yang mereka keluarkan sangat menzalimi rakyat dan memicu stress sosial yang bersifat massal. Mereka juga tidak peduli bahwa tayangan media massa dan budaya yang mereka biarkan merebak bisa membahayakan moral anak-anak bangsa.
Islam Memberikan Solusi
Oleh karena itu umat membutuhkan perubahan mendasar dan menyeluruh, bukan hanya perubahan parsial dan tambal sulam. Perubahan dimaksud adalah perubahan sistem, dari sistem sekuler yang menafikan peran Sang Pencipta kehidupan kepada sistem Islam, yang tidak hanya mengajarkan bagaimana manusia beribadah kepada Allah tetapi juga memberikan aturan kehidupan yang menyeluruh dan sesuai dengan fitrah manusia. Hanya sistem Islam yang memiliki seperangkat aturan, yang bersifat preventif dan kuratif sehingga mampu melindungi masyarakat dari segala bentuk tindak kekerasan, dan kejahatan lainnya.
Seperangkat aturan ini ada yang menyangkut benteng diri, berupa akidah dan pemahaman hukum syarak yang memungkinkan seseorang memiliki ketahanan ideologis dan tercegah dari perbuatan kriminal, baik sebagai pelaku maupun korban. Sistem Islam juga berfungsi sebagai benteng umat, berupa sistem ekonomi dan sosial, sistem politik dan hukum, serta sistem-sistem lainnya yang mencegah kerusakan, menjamin ketentraman hidup dan menyejahterakan. Sistem ini hanya bisa terwujud dengan penerapan islam secara total, bukan dengan sistem demokrasi warisan para filosof yang tidak paham apa hakikat kehidupan. Sudah saatnya kaum muslimin tidak hanya mempelajari Islam sebatas teori saja tetapi juga dapat mengamalkan seluruhnya dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Maka akan terwujud Islam Rahmatan lil’alamin , kembali ke fitrah kembali ke Islam kaffah.
Penulis : Alin lizia Anggraeni,SE (Pemerhati anak dan umat)