Festival Cenil, Tradisi Warga Desa Kota Bangun III Lestarikam Warisan Kuliner
Foto : Perayaan Festival cenil dalam rangka HUT Desa Kota Bangun III. (Diskominfo Kukar)
KUTAI KARTANEGARA – Setiap tahun, menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) desa, festival cenilmenjadi agenda rutin yang dinanti-nantikan oleh warga Desa Kota Bangun III.
Beragam kreasi cenil dari bahan dasar singkong dipamerkan dan disajikan secara gratis kepada masyarakat. Tradisi ini tidak hanya mempererat ikatan sosial antar warga, tetapi juga menjaga dan melestarikan warisan kuliner serta budaya setempat.
Cenil, dengan teksturnya yang kenyal dan warnanya yang mencolok, melambangkan ketahanan dan adaptasi para transmigran yang pertama kali tiba di desa ini. Mereka menghadapi berbagai tantangan untuk membangun kehidupan baru, dan cenil menjadi simbol dari perjuangan tersebut.
Melalui festival ini, warga desa dapat memperkenalkan kearifan lokal kepada generasi muda dan pengunjung dari luar, memperkuat identitas budaya mereka di tengah arus modernisasi.
Dengan demikian, Festival Cenil di Desa Kota Bangun III lebih dari sekadar perayaan kuliner, melainkan adalah perwujudan semangat komunitas, kebersamaan, dan keberlanjutan tradisi lokal.
“Kami sedang melestarikan sebuah budaya, kearifan lokal yang pernah ada,” kata Kepala Desa Kota Bangun III, Lilik Hendrawanto.
Di tengah keterbatasan, para transmigran berinovasi mengolah singkong menjadi berbagai hidangan, salah satunya cenil. Tradisi ini kemudian diwariskan turun-temurun, menjadi pengingat perjuangan dan kekompakan para pendahulu.
Festival Cenil tak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga menjadi ajang kreativitas dan promosi potensi desa. Berbagai kreasi cenil yang unik dan menarik dipamerkan, menunjukkan kekayaan budaya dan kuliner Desa Kota Bangun III.
“Harapannya, festival ini bisa menjadi daya tarik wisata dan meningkatkan ekonomi desa,” ujar Lilik.
Festival Cenil menjadi pengingat bagi generasi muda tentang pentingnya menjaga tradisi dan kearifan lokal. Di tengah gempuran modernisasi, nilai-nilai budaya leluhur harus tetap dilestarikan dan ditanamkan kepada generasi penerus.
Pada transmigrasi dulu, hanya tanaman singkong yang mampu bertahan di tanah gersang. Ketika pembukaan lahan baru, mereka hanya menanam singkong untuk bahan makanan sehari-hari, pengganti beras.
Agar anak-anak tidak bosan memakan singkong tiap hari. Para orang tua pun berinisiatif mengolah umbi-umbian menjadi beraneka ragam makanan, salah satunya cenil.
“Supaya anak-anaknya tidak bosan makan singkong, maka orangtuanya mengolah menjadi berbagai macam bentuk dan warna (cenil),” pungkasnya. (Kar)