
Bujurnews – Dalam dunia hukum Indonesia, profesi advokat memegang peran strategis sebagai penjaga keadilan dan perlindung hak asasi manusia. Namun, seiring dengan meningkatnya dinamika kasus di ruang publik, tantangan etis dalam profesi ini semakin kompleks. Salah satu kasus yang mencuat dan menyoroti persoalan etika adalah keterlibatan Elza Syarief dalam polemik hukum yang menjadi sorotan media. Kasus ini tidak hanya mencerminkan problematika individu, tetapi juga membuka ruang diskusi tentang implementasi dan efektivitas Kode Etik Advokat Indonesia.
Advokat sering kali disebut sebagai officium nobile, profesi yang mulia, karena tanggung jawabnya yang besar dalam menegakkan keadilan. Namun, seiring dengan popularitas kasus tertentu, banyak advokat tergoda untuk mengedepankan sensasi ketimbang substansi. Dalam kasus Elza Syarief, dinamika ini terlihat jelas. Sebagai advokat yang telah berpengalaman, ia terjebak dalam drama media yang justru memperkeruh citra profesi hukum.
Pelanggaran etika dalam kasus ini, yang dilaporkan mencakup penyampaian pernyataan yang tidak berdasar dan diduga menyesatkan publik, memunculkan pertanyaan mendasar: sejauh mana advokat dapat membatasi dirinya dalam berbicara di ruang publik, khususnya ketika membahas klien atau pihak yang bersengketa?
Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) dengan tegas mengatur bahwa advokat harus menjaga kerahasiaan klien (Pasal 4) dan menghindari tindakan yang merugikan profesi (Pasal 3). Namun, dalam praktiknya, norma-norma ini sering diabaikan, terutama ketika advokat merasa perlu mempertahankan reputasi mereka di tengah sorotan publik.
Kasus Elza Syarief menjadi sorotan ketika ia tampil di media dan membuat pernyataan yang memicu kontroversi, khususnya terkait tuduhan pencemaran nama baik. Sebagai seorang advokat, ia dianggap melanggar batas etika dengan membawa sengketa hukum ke ranah opini publik, yang tidak hanya berdampak pada reputasi pihak yang bersengketa, tetapi juga menciptakan persepsi negatif terhadap profesi advokat secara keseluruhan.
Dalam kacamata etika profesi, tindakan ini berpotensi melanggar prinsip fair play dalam proses hukum. Advokat seharusnya fokus pada pembuktian di persidangan, bukan di media. Ketika advokat berbicara di luar konteks hukum, kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pun tergerus.
Dampak dari kasus ini dirasakan lebih luas daripada hanya citra pribadi Elza Syarief. Publik mulai mempertanyakan integritas advokat secara umum, dan hal ini menjadi tantangan bagi organisasi profesi seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) untuk mengambil langkah tegas.
Salah satu kritik terhadap sistem penegakan etika advokat di Indonesia adalah lemahnya mekanisme pengawasan dan sanksi. Banyak pelanggaran etika yang tidak berujung pada sanksi tegas, sehingga menciptakan persepsi bahwa advokat adalah “kasta tak tersentuh” dalam dunia hukum.
Dalam kasus Elza Syarief, PERADI sempat menyoroti tindakan yang diduga melanggar kode etik, tetapi langkah konkret tampaknya belum terlihat. Hal ini mencerminkan masalah mendasar dalam penegakan etika: profesionalisme sering kali dikalahkan oleh politik internal organisasi profesi.
Seharusnya, PERADI bisa menjadikan kasus ini sebagai momentum untuk menunjukkan ketegasan dalam menegakkan kode etik. Jika organisasi profesi gagal mengambil tindakan tegas, maka risiko hilangnya kepercayaan publik terhadap profesi advokat akan semakin besar.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa advokat tidak hanya bertanggung jawab kepada klien, tetapi juga kepada masyarakat dan sistem hukum itu sendiri. Reformasi dalam penegakan kode etik menjadi kebutuhan mendesak. PERADI harus memastikan bahwa pelanggaran etika, sekecil apa pun, ditindak secara transparan dan adil.
Di sisi lain, advokat perlu menginternalisasi nilai-nilai etika dalam setiap langkahnya. Popularitas tidak boleh menjadi alasan untuk mengorbankan prinsip-prinsip dasar profesi. Tanpa integritas, profesi advokat akan kehilangan kemuliaannya sebagai penjaga keadilan.
Sebagai penutup, kasus Elza Syarief hanyalah satu dari sekian banyak contoh pelanggaran etika dalam profesi hukum. Namun, jika kasus ini dapat dijadikan pelajaran, maka profesi advokat di Indonesia masih memiliki peluang untuk merebut kembali kepercayaan publik. Karena sejatinya, keadilan hanya dapat ditegakkan jika semua pihak, termasuk advokat, berkomitmen untuk menjalankan tugasnya dengan integritas dan tanggung jawab. (ape)
*Opini berikut ditulis oleh M. Fawwaz Praditya mahasiwa Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman angkatan 2022. Bujurnews tidak bertanggung jawab dengan isi yang ditampilkan dalam tulisan tersebut.