Opini

Sengketa Pajak Antara PT Tiara Jaya Tunggal Mandiri Dengan Direktorat Jenderal Pajak

Sengketa perpajakan antara Wajib Pajak dan otoritas pajak merupakan bagian dari dinamika hukum administrasi perpajakan di Indonesia. Keberadaan mekanisme keberatan dan banding merupakan bentuk perlindungan hukum bagi Wajib Pajak dalam menyikapi hasil pemeriksaan dan penetapan pajak yang dianggap tidak tepat atau merugikan. Salah satu kasus yang mencerminkan dinamika ini adalah sengketa antara PT Tiara Jaya Tunggal Mandiri dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yang kemudian diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Pajak melalui Putusan Nomor PUT-006837.15/2021/PP/M.118 Tahun 2024.

Dalam perkara ini, PT Tiara Jaya Tunggal Mandiri mengajukan banding atas Keputusan Terbanding Nomor KEP-00082/KEB/WPJ.14/2021 tanggal 6 Mei 2021, yang menolak keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2016. Sengketa ini menjadi relevan untuk dianalisis lebih lanjut karena menyangkut isu penting mengenai prosedur keberatan, kewenangan absolut Pengadilan Pajak, serta mekanisme pemeriksaan formil dan materil dalam sistem hukum perpajakan nasional.

Pokok Permasalahan dan Analisis Hukum

Sengketa ini bermula dari penerbitan SKPKB oleh DJP terhadap PT Tiara Jaya Tunggal Mandiri yang dinilai memiliki kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) untuk Tahun Pajak 2016. SKPKB tersebut bernomor 00035/206/16/725/20 dan diterbitkan pada tanggal 28 September 2020. Merasa keberatan atas besaran pajak terutang yang ditetapkan, PT Tiara Jaya mengajukan keberatan kepada DJP. Namun, Keputusan Keberatan Nomor KEP-00082/KEB/WPJ.14/2021 yang dikeluarkan DJP tetap menolak permohonan keberatan tersebut. Akibatnya, Wajib Pajak mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak.

Objek sengketa dalam perkara ini adalah SKPKB PPh Tahun Pajak 2016 yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Madya Balikpapan, sedangkan subjek yang bersengketa adalah PT Tiara Jaya Tunggal Mandiri sebagai pihak Pemohon Banding (Wajib Pajak) dan Direktorat Jenderal Pajak sebagai Terbanding. Isu hukum utama yang muncul adalah apakah SKPKB yang diterbitkan oleh DJP telah sesuai secara hukum, baik dari aspek prosedural maupun materiil, serta apakah keputusan keberatan yang diterbitkan DJP dapat dibenarkan secara yuridis.

Dalam pertimbangannya, Pengadilan Pajak terlebih dahulu memeriksa aspek kewenangan absolut dan ketentuan formal pengajuan banding. Berdasarkan Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pengadilan menyatakan berwenang memeriksa perkara ini karena menyangkut keberatan atas ketetapan pajak. Selanjutnya, mengenai formalitas pengajuan banding, Surat Banding Nomor 295/TJTM/VIII/2021 yang diajukan pada tanggal 4 Agustus 2021 dinyatakan telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 40 Undang-Undang Pengadilan Pajak. Surat tersebut diajukan dalam tenggat waktu tiga bulan, menggunakan Bahasa Indonesia, menyebut alasan secara jelas, serta dilampiri bukti pembayaran 50% dari jumlah pajak terutang.

Dalam tahap pemeriksaan materil, Pengadilan menilai bahwa terdapat kekeliruan dalam analisis DJP terkait data dan dokumen yang disampaikan oleh Wajib Pajak. Beberapa koreksi yang dilakukan oleh DJP tidak mencerminkan kondisi ekonomi riil yang dialami perusahaan, terutama dalam hal pengakuan biaya dan pendapatan yang dianggap tidak wajar. Akhirnya, berdasarkan penilaian secara menyeluruh, Pengadilan memutuskan untuk mengabulkan permohonan banding sebagian dan menetapkan bahwa jumlah PPh yang sebenarnya terutang adalah Rp1.122.999.721, lebih rendah dari yang ditetapkan sebelumnya.

Relevansi Hukum dan Implikasi Putusan

Putusan ini menjadi preseden penting dalam praktik penegakan hukum pajak di Indonesia. Dari aspek hukum administrasi, perkara ini menunjukkan bahwa proses keberatan dan banding tidak hanya bersifat formalitas, tetapi substansial dan krusial dalam menjamin hak-hak Wajib Pajak. Pengadilan tidak serta-merta menerima hasil keputusan DJP, melainkan mengevaluasi berdasarkan bukti-bukti objektif.

Dari segi peraturan, perkara ini memperlihatkan berlakunya prinsip due process of law dalam perpajakan sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007, serta UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Ketentuan tentang prosedur banding dan kewenangan peradilan pajak juga merujuk pada UU No. 14 Tahun 2002 yang menjadi landasan utama dalam mekanisme penyelesaian sengketa perpajakan.

Implikasi dari putusan ini tidak hanya berdampak pada PT Tiara Jaya Tunggal Mandiri sebagai pihak yang memperoleh keadilan fiskal, tetapi juga memberikan sinyal kepada DJP agar lebih berhati-hati dalam menetapkan SKPKB, serta mendorong peningkatan kualitas pemeriksaan pajak yang adil dan proporsional.

Fenomena kasus penghindaran perpajakan sudah banyak terjadi di Indonesia, seperti pada perusahaan consumer goods. Perusahaan consumer goods merupakan sektor industri penyedia barang yang dikonsumsi terus menerus dan secara rutin oleh para konsumen, seperti makanan, produk kosmetik, sembako, obat-obatan atau produk lain yang sering dikonsumsi dan secara langsung berdampak pada sosial. Terdapat beberapa kasus menyusun strategi agresif guna memanipulasi kewajiban pajak oleh perusahaan consumer goods. Hal ini dibuktikan adanya kasus tax aggressiveness yang dilakukan oleh PT Unilever Tbk, PT Indofood Sukses Makmur Tbk, dan PT Coca Cola Indonesia yang merupakan perusahaan dalam kategori consumer goods

Pada tahun 2013, PT Indofood Sukses Makmur Tbk yang mulanya mendirikan perusahaan baru dengan melakukan pengalihan aset dan liabilitas (Hariseno & Pujiono, 2021). Akibat melakukan pemekaran usaha, PT Indofood mendapat Keputusan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bahwa PT Indofood tetap melunasi jumlah pajak yang harus dibayarkan senilai Rp 1,3 Miliyar (Suwanta & Herijawati, 2022). PT Unilever Indonesia Tbk (Nestle) pada tahun 2015 melakukan tindakan pengurangan pajak dengan cara legal dengan mengurangi beban pajak sebesar Rp 800 Miliyar dan memanfaatkan kebijakan transfer pricing (Yusuf & Maryam, 2022). Pada tahun 2014, PT Coca Cola Indonesia diduga menghindari pajak sebesar Rp 49,24 miliar. Perusahaan tersebut kemudian mengajukan banding karena meyakini telah melunasi beban pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku (www.money.kompas.com, 2014).

Penutup

Sengketa antara PT Tiara Jaya Tunggal Mandiri dan Direktorat Jenderal Pajak merupakan contoh konkret bagaimana sistem peradilan pajak di Indonesia bekerja dalam menjamin keadilan bagi Wajib Pajak. Dengan melalui prosedur keberatan dan banding, Wajib Pajak memiliki ruang hukum untuk membela kepentingannya secara sah dan proporsional. Putusan ini tidak hanya menunjukkan fungsi korektif dari Pengadilan Pajak terhadap keputusan otoritas fiskal, tetapi juga mengukuhkan prinsip-prinsip hukum administrasi yang transparan, akuntabel, dan menjunjung tinggi keadilan.

REFERENSI

Hariseno, P. E., & Pujiono. (2021). Pengaruh Praktik Manajemen Laba Terhadap Penghindaran Pajak. Jurnal Ilmu Komputer, Ekonomi dan Manajemen (JIKEM)1(1), 101–111.

Suwanta, T., & Herijawati, E. (2022). Pengaruh Profitabilitas, Likuiditas, dan Leverage Terhadap Tax Avoidance (Studi Kasus pada Perusahaan Manufaktur Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2018 – 2021). Prosiding: Ekonomi dan Bisnis2(2). https://jurnal.ubd.ac.id/index.php/pros

www.money.kompas.com. (2014). Coca-Cola Diduga Akali Setoran Pajak. www.money.kompas.com. https://money.kompas.com/read/2014/06/13/1135319/Coca-Cola.Diduga.Akali.Setoran.Pajak

www.money.kompas.com. (2020). RI Diperkirakan Rugi Rp 68,7 Triliun Akibat Penghindaran Pajak. www.money.kompas.com. https://money.kompas.com/read/2020/11/23/183000126/ri-diperkirakan-rugi-rp-68-7-triliun-akibat-penghindaran-pajak

Yusuf, M., & Maryam. (2022). Pengaruh Tax Avoidance Terhadap Firm Value yang Dimoderasi oleh Transparansi Perusahaan. Journal of Islamic Accounting Competency88, 88–107.

*Opini berikut ditulis oleh Haikal Ramadhan untuk memenuhi mata kuliah Hukum Pajak, redaksi tidak bertanggung jawab atas isi opini tersebut.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button