Bujurnews – Hukum adalah janji yang disampaikan negara kepada rakyatnya: bahwa keadilan akan dijaga, bahwa kebenaran akan ditegakkan. Namun, janji itu sering kali terdengar hampa di Indonesia, khususnya ketika kekuasaan memasuki ranah hukum. Dalam lintasan sejarah, hukum di negeri ini telah melalui berbagai fase, dari mimpi idealisme pascakemerdekaan, kelamnya kontrol otoritarian di era Soeharto, hingga era reformasi yang penuh janji tetapi masih jauh dari sempurna. Fenomena pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI 2024–2029 kembali mengingatkan kita bahwa meski demokrasi telah bertransformasi, tantangan pada independensi hukum tetap bertahan, hanya berubah wajah.
Era Soeharto dikenal sebagai masa ketika hukum menjadi alat kekuasaan yang absolut. Di bawah bayang-bayang Orde Baru, hukum tunduk pada kehendak rezim. Institusi peradilan dikontrol secara ketat, hakim tidak memiliki independensi, dan advokat yang berani melawan arus sering kali dibungkam dengan ancaman atau kekerasan. Tidak ada ruang bagi debat publik, apalagi kritik terhadap penguasa. Lembaga seperti Mahkamah Agung pada masa itu lebih berfungsi sebagai alat legitimasi kebijakan negara daripada sebagai penegak keadilan. Dalam konteks ini, perbandingan dengan kondisi hukum di era reformasi menjadi relevan. Reformasi membawa optimisme bahwa hukum akan dibebaskan dari belenggu kekuasaan. Lembaga-lembaga seperti Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi lahir dari semangat ini—sebagai upaya memastikan hukum tidak lagi tunduk pada kepentingan politik. Namun, lebih dari dua dekade sejak reformasi bergulir, pertanyaan mendasar tetap menggema: apakah hukum benar-benar independen?
Kasus pencalonan Gibran adalah cermin dari dilema tersebut. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengizinkan perubahan batas usia calon presiden dan wakil presiden di bawah 40 tahun terlihat seperti inovasi hukum di permukaan. Namun, bagi banyak pihak, keputusan ini mencerminkan sesuatu yang lebih rumit: bayang-bayang politik keluarga yang sulit dipisahkan dari proses hukum. Publik bertanya-tanya, apakah keputusan itu benar-benar lahir dari prinsip keadilan, ataukah hukum telah sekali lagi digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan, sebagaimana terjadi di masa Soeharto?
Jika dibandingkan dengan era Orde Baru, era reformasi memang menawarkan lebih banyak ruang bagi kritik dan pengawasan publik. Di masa lalu, keputusan semacam ini mungkin diterima begitu saja tanpa perlawanan. Namun kini, media sosial dan kesadaran masyarakat memberikan tekanan yang berbeda. Di sisi lain, tekanan ini tidak selalu menghasilkan perubahan signifikan. Banyak kasus yang tetap menunjukkan bahwa hukum masih rentan terhadap manipulasi politik.
Independensi hakim, misalnya, sering menjadi sorotan. Pada masa Soeharto, hakim adalah perpanjangan tangan pemerintah, tunduk pada perintah yang datang dari atas. Sementara itu, di era reformasi, hakim memiliki kewenangan yang lebih luas, tetapi independensi mereka sering kali dipertanyakan. Kasus seperti revisi UU KPK atau putusan kontroversial terkait batas usia calon presiden menunjukkan bahwa tekanan politik tetap menjadi tantangan yang sulit dihindari. Hal serupa terjadi pada profesi advokat. Di era Orde Baru, advokat yang berani memperjuangkan hak asasi manusia, seperti Adnan Buyung Nasution atau Yap Thiam Hien, sering kali menghadapi ancaman serius, dari intimidasi hingga pencabutan izin praktik. Saat ini, ancaman semacam itu mungkin tidak lagi eksplisit, tetapi tekanan ekonomi dan politik tetap membuat banyak advokat memilih jalur aman, meskipun itu berarti mengabaikan keadilan yang lebih besar.
Pendidikan hukum juga tidak banyak berubah sejak masa Orde Baru. Meskipun reformasi telah membuka lebih banyak ruang untuk diskusi kritis, kurikulum di fakultas hukum masih cenderung menekankan aspek prosedural dan teknis, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada pembentukan karakter moral dan etika. Akibatnya, banyak lulusan hukum yang memahami pasal-pasal secara mendalam, tetapi tidak memiliki keberanian untuk melawan ketidakadilan sistemik. Namun, era reformasi juga membawa harapan baru. Komisi Yudisial, meskipun sering dianggap tidak efektif, setidaknya memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengawasi etika para hakim. Hal serupa berlaku untuk lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menjadi simbol perlawanan terhadap korupsi, meskipun keberadaannya terus-menerus digerogoti oleh kekuatan politik.
Ketika kita membandingkan kondisi hukum saat ini dengan masa Soeharto, ada satu perbedaan mendasar yang tidak boleh diabaikan: adanya ruang untuk perubahan. Di era reformasi, kritik terhadap penguasa tidak lagi dianggap sebagai pengkhianatan, tetapi sebagai bagian dari demokrasi. Kasus-kasus yang kontroversial, seperti pencalonan Gibran atau putusan-putusan yang mengundang protes publik, menunjukkan bahwa masyarakat kini memiliki suara, meskipun suara itu belum selalu didengar. Namun, perubahan yang lebih mendalam membutuhkan upaya kolektif. Penguatan lembaga pengawas seperti Komisi Yudisial harus menjadi prioritas. Pendidikan hukum harus bertransformasi untuk menghasilkan para praktisi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bermoral. Yang terpenting, masyarakat harus terus mengawasi dan menuntut transparansi dalam setiap proses hukum.
Jika di era Soeharto hukum adalah alat kekuasaan yang tidak terbantahkan, maka di era reformasi hukum berada di persimpangan: antara menjadi alat perubahan atau kembali menjadi budak kekuasaan. Pilihan ini tidak hanya ada di tangan para hakim, advokat, atau jaksa, tetapi juga di tangan masyarakat yang menuntut keadilan. Karena tanpa keadilan, hukum hanyalah teks di atas kertas—kosong, tidak bernyawa, dan kehilangan maknanya. (ape)
*Opini berikut ditulis oleh Rehagel Israel Timothy Sirih, dari Program Studi Hukum angkatan 2022, Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman. Bujurnews tidak bertanggungjawab dengan isi yang ditampilkan di dalamnya.