Joget ASN di Kutim Viral: Generasi Z Soroti Etika dan Budaya Kerja

Penulis : Tarisya Fitriani
(Mahasiswa S1 Pemerintahan Integratif, FISIP-Universitas Mulawarman)
Bujurnews.com, Samarinda – Kasus viral Joget PUPR Kutim bukan hanya persoalan hiburan semata, melainkan mencerminkan keresahan yang lebih dalam dari Generasi Z terhadap budaya kerja Aparatur Sipil Negara (ASN). Peristiwa ini membuka ruang kritik yang luas terhadap kondisi kebijakan publik, politik, sosial, dan pemerintahan di Indonesia saat ini. Meskipun tampak sepele, kasus tersebut menjadi simbol pertanyaan-pertanyaan kritis yang dilontarkan generasi muda terkait etika, profesionalisme, dan integritas dalam birokrasi. Generasi Z melihatnya sebagai refleksi dari lemahnya fondasi nilai-nilai yang seharusnya menopang kerja-kerja pelayanan publik.
Generasi Z, tumbuh di era transparansi digital dan terpapar pada standar global, memiliki ekspektasi yang berbeda terhadap profesionalisme dan akuntabilitas. Kasus “joget PUPR Kutim” bukan lagi sekedar pelanggaran disiplin individu, melainkan memicu perdebatan tentang budaya kerja yang mungkin masih permisif terhadap tindakan yang dianggap tidak etis atau tidak profesional di ruang publik. Pertanyaan yang muncul adalah: apakah insiden ini merupakan puncak gunung es dari permasalahan yang lebih dalam terkait pengawasan, penegakan etika, dan nilai-nilai yang dianut dalam institusi pemerintahan?
Dari sudut pandang kebijakan publik, kasus ini menyorot lemahnya implementasi dan pengawasan terhadap kode etika ASN. Jika tindakan yang dianggap merendahkan citra institusi dan profesi masih dapat terjadi, ini mengindikasikan adanya celah dalam sistem yang perlu dievaluasi dan diperbaiki. Kebijakan yang ada mungkin perlu diperkuat dengan mekanisme pengawasan yang lebih ketat dan sanksi yang lebih tegas dengan mekanisme pengawasan yang lebih ketat dan sanksi yang lebih tegas untuk memastikan kepatuhan terhadap standar etika yang diharapkan.
Dalam ranah politik, kasus ini bisa menjadi imunisasi bagi kelompok oposisi atau pengkritik pemerintahan untuk menyoroti kualitas sumber daya manusia dalam birokrasi. Ini juga dapat memicu perdebatan tentang reformasi birokrasi yang seringkali. Ini juga dapat memicu perdebatan tentang reformasi birokrasi yang seringkali digunakan namun implementasinya terasa lambat atau kurang efektif. Generasi Z, dengan idealisme dan kejujuran yang mereka junjung tinggi, mungkin melihat kasus ini sebagai cerminan dari inkonsistensi antara retorika reformasi dan realitas di lapangan.
Secara sosial, viralitas kasus ini menunjukan betapa sensitifnya masyarakat, terutama Generasi Z, terhadap perilaku pejabat publik. Mereka tidak lagi mentolerir tindakan yang dianggap tidak pantas atau tidak sesuai dengan citra pelayanan publik yang seharusnya kasus ini memperkuat tuntutan akan transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar dari para pemegang amanah publik. Ini juga menjadi indikator pergeseran nilai sosial, dan pada etika dan profesionalisme dalam pekerjaan, termasuk di sektor pemerintahan, semakin menjadi perhatian utama.
Dari perspektif pemerintahan, respons yang cepat dan tegas terhadap kasus ini, seperti yang terlihat dengan sanksi yang diberikan, adalah langkah positif. Namun, ini tidak boleh hanya menjadi respons reaktif terhadap viralitas semata. Pemerintah perlu melakukan evaluasi yang lebih mendalam terhadap budaya kerja di berbagai instansi, mengidentifikasi potensi masalah, dan merumuskan langkah-langkah preventif yang sistematis. Ini termasuk memperkuat internalisasi nilai-nilai etika dan profesionalisme, meningkatkan pengawasan, dan memberikan contoh kepemimpinan yang baik. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi bujurnews.com