EkonomiNasional

Terkuak! Harga Beras Mahal di Pasar, Padahal Stok Beras Melimpah

Bujurnews, Jakarta — Pemerintah mencatat cadangan beras nasional mencapai rekor tertinggi, yakni 4,2 juta ton yang disimpan oleh Perum Bulog. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan ironi, harga beras di pasar tetap tinggi, bahkan melampaui batas Harga Eceran Tertinggi (HET) di berbagai daerah.

Kondisi ini memicu pertanyaan besar, mengapa harga tetap mahal jika stok berlimpah?
Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Barat, Otong Wiranta, mengungkapkan bahwa kelangkaan gabah di lapangan menjadi penyebab utama melonjaknya harga beras. Menurutnya, tingginya harga bukan karena kekurangan stok nasional, tetapi karena distribusi gabah yang tidak merata dan tidak cukup tersedia di tangan penggilingan.

“Pasar itu terus menyerap beras, sementara beras yang di Bulog ditahan sampai dengan 4 juta ton lebih. Sehingga yang di lapangan, padi yang sedikit pun berebut sehingga harganya merangkak naik,” ujar Otong dalam webinar PERHEPI, Senin (14/7/2025).

Otong menambahkan bahwa petani hanya menginginkan kenyamanan dalam berusaha tani, seperti akses air, pupuk, dan pengendalian hama — bukan kebijakan yang justru memperburuk ekosistem distribusi hasil panen mereka.

Kondisi ini diperkuat oleh pernyataan Khudori, pengamat pertanian dan pengurus pusat PERHEPI. Ia menilai kebijakan pemerintah yang mendorong Bulog menyerap gabah secara besar-besaran memang menguntungkan petani dalam jangka pendek, namun menciptakan ketimpangan di pasar.

“Sebagian besar surplus produksi diserap Bulog. Penggilingan swasta hanya kebagian sisa, sehingga pasokan mereka ke pasar turun drastis — kira-kira tinggal sepertiganya dibandingkan situasi normal,” ujar Khudori.

Lebih parah lagi, kata Khudori, beras yang diserap Bulog tidak segera disalurkan ke pasar, melainkan ditahan untuk memenuhi target cadangan. Alhasil, penggilingan kekurangan bahan baku, sementara permintaan pasar tetap tinggi. Penggilingan skala kecil hingga besar mulai merugi dan bahkan menghentikan operasi.

“Tugas pemerintah bukan hanya memastikan stok, tapi juga mengendalikan harga. Kalau stok ditumpuk demi rekor, yang terjadi ya seperti ini,” tambahnya.

Dampak dari kondisi ini turut dirasakan dalam laju inflasi nasional. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, mengatakan bahwa beras menjadi penyumbang utama inflasi pada Juni 2025, dengan andil sebesar 0,04%.

“Harga beras terus mengalami kenaikan di berbagai zona. Di zona 1 naik 1,52%, zona 2 naik 0,90%, dan di beberapa daerah sudah melebihi HET,” ungkap Pudji dalam Rakor Pengendalian Inflasi Daerah di Kantor Kemendagri.

Bahkan, di Kabupaten Mahakam Ulu, harga beras tercatat tembus Rp19.129 per kilogram — jauh di atas HET nasional. Meskipun di zona 3 harga turun tipis, namun tetap berada di atas ambang batas yang ditetapkan.

Para pengamat dan pelaku sektor pertanian mendesak agar pemerintah segera mengoreksi kebijakan penyerapan dan distribusi beras nasional. Distribusi cadangan Bulog yang lebih adaptif, transparansi dalam penyaluran, serta pemberdayaan kembali penggilingan swasta dinilai penting agar harga kembali stabil dan tidak memberatkan konsumen.
Jika tidak segera dilakukan langkah korektif, tingginya harga beras bukan hanya akan memperparah inflasi, tapi juga melemahkan sektor penggilingan serta mengganggu keseimbangan pasar yang sudah rapuh. (ly/ja)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button