
Bujurnews, Jakarta — Pemerintah menetapkan target penerimaan pajak pada 2026 sebesar Rp2.357,71 triliun atau naik 13,51 persen dibanding target 2025 senilai Rp2.076,9 triliun. Angka itu merupakan bagian dari target pendapatan negara dalam RAPBN 2026 yang dipatok Rp3.147,68 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, lonjakan target setoran pajak dua digit tersebut tidak akan ditempuh dengan menaikkan tarif pajak. Pemerintah akan mengandalkan reformasi administrasi, digitalisasi sistem perpajakan, serta penguatan pengawasan.
“Extra effort-nya sekitar 5 persen melalui berbagai langkah reformasi administrasi dan enforcement,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers RAPBN 2025, Selasa (19/8/2025).
Dalam Nota Keuangan RAPBN 2026, strategi pemerintah terbagi ke dalam dua kerangka besar, yaitu kebijakan umum dan kebijakan teknis.
Kebijakan umum meliputi perluasan basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Peningkatan kepatuhan berbasis teknologi, sinergi joint program, serta penegakan hukum. Penguatan reformasi perpajakan dan harmonisasi kebijakan internasional. Pengelolaan insentif perpajakan yang lebih terukur untuk mendorong investasi dan hilirisasi industri.
Sementara Kebijakan teknis terdiri dari, Optimalisasi perluasan basis pajak berbasis data dan risiko melalui Core Tax Administration System (CTAS) dan Compliance Risk Management (CRM). Pemberian insentif fiskal terarah untuk investasi, ekonomi hijau, infrastruktur, serta daya beli masyarakat. Penyusunan regulasi berkeadilan dan penegakan hukum yang memberi efek jera. Penagihan piutang pajak secara lebih efektif.
Pemerintah juga memperkuat strategi menghadapi aktivitas ekonomi ilegal atau shadow economy yang selama ini belum tergarap dalam basis perpajakan. Langkah yang ditempuh antara lain, Integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Canvassing aktif wajib pajak yang belum terdaftar. Penunjukan entitas luar negeri sebagai pemungut PPN atas transaksi digital. Pemanfaatan data OSS BKPM dan pencocokan data pelaku usaha digital.
Ke depan, sektor-sektor dengan tingkat shadow economy tinggi seperti perdagangan eceran, makanan dan minuman, emas, serta perikanan akan menjadi fokus pengawasan.
Mulai 1 Januari 2026, Indonesia juga akan menerapkan pajak minimum global, memperluas pertukaran informasi keuangan otomatis (Automatic Exchange of Information/AEOI) untuk aset digital, hingga memperkuat kerja sama pemulihan piutang pajak lintas negara.
Saat ini, pemerintah sudah menjalin kesepakatan dengan 81 negara dan sedang menjajaki perjanjian serupa dengan Jepang dan Korea Selatan.
“Penerimaan pajak 2026 diperkirakan mencapai Rp2.357,7 triliun yang didukung proyeksi pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, inflasi 2,5 persen, serta optimalisasi pengawasan berbasis CRM,” tertulis dalam dokumen RAPBN 2026.
(Ly/ja)