Mampukah Food Estate Antisipasi Krisis Pangan?
Bujurnews, Opini – BMKG memberikan peringatan keras kepada pemerintah Indonesia, terkait ancaman fenomena El Nino (kemarau ekstrem). Sebab, sektor pertanian penghasil pangan Indonesia terancam gagal panen.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, El Nino juga membuat curah hujan menjadi rendah. Alhasil, produktivitas pangan menjadi sangat turun. Adanya perubahan pola curah hujan dan kenaikan suhu udara menyebabkan produksi pertanian menurun secara signifikan.
Kejadian iklim ekstrem berupa banjir dan kekeringan menyebabkan tanaman yang mengalami gagal panen atau puso semakin meluas.
Selain itu, puncak kemarau kering ini diprediksi akan terjadi di bulan Agustus hingga awal bulan September. Dengan kondisi akan jauh lebih kering dibandingkan tahun 2020, 2021 dan 2022.
Lantas, apa yang menyebabkan ketahanan pangan nasional kian mengkhawatirkan? Benarkah faktor cuaca menyebabkan ketahanan pangan terancam?
Food estate digadang-gadang sebagai lumbung pangan mampukah mengantisipasi krisis pangan? Food Estate Mangkrak Dengan dalih demi menjaga ketahanan dan mencegah krisis pangan Indonesia jangka panjang presiden Jokowi menggagas food estate.
Food estate merupakan konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan.
Food estate dibangun diatas lahan 1,2 juta ha di Papua, di wilayah Kalimantan Barat (120.000 ha), Kalimantan Tengah (180.000 ha), Kalimantan Timur (10.000 ha), dan Maluku (190.000 ha).
Dua tahun berjalan di Kalteng, hasilnya: gagal. Perkebunan singkong seluas 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah baru pun tak kunjung panen.
Meskipun ada sejumlah wilayah food estate yang mangkrak dan sebagian gagal panen, pemerintah masih terus berambisi melanjutkan program ini.
Kementan menyatakan program ini Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bapennas, food estate hanya sampai 2024.
Bahkan berharap program ini dilanjutkan dalam penyusunan RPJMN 2024-2028. Selain itu, Pengembangan food estate menjadi salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024.
Pendapat berbeda dilontarkan Direktur LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata, ia mengatakan program lumbung pangan ini gagal dan harus disudahi. Menurutnya kegagalan disebabkan karena kajian yang kurang dalam hal kesesuaian lahan dan kondisi sosial masyarakat di Kalteng.
Menanam padi di atas lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) adalah tindakan yang serampangan. Sebab fungsi gambut sebagai pengatur siklus air justru dieksploitasi sehingga terjadi kekeringan dan belakangan memicu kebakaran lahan.
Langkah pemerintah membuka lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) untuk pertanian padi dianggap tidak tepat.
Pertama, produktivitas padi di lahan gambut tidak akan setinggi di tanah mineral.
Kedua, berbenturan dengan komitmen pemerintah mengurangi gas emisi. Ambisi “Bagi-bagi Kue” Kuat dugaan mengapa pemerintah begitu berambisi melanjutkan program food estate disebabkan adanya “proyek bagi-bagi kue”. Proyek yang dibagi dengan pihak lain yakni korporasi.
Penelusuran Walhi, PT Agro Industri Nasional atau Agrinas ditunjuk sebagai mitra Kementan untuk menawarkan proposal investasi food estate singkong. Tuduhan Walhi bukanlah isapan jempol, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan mengatakan, dalam pengembang kawasan food estate ini petani dan pemerintah tidak bisa bekerja sendiri sehingga perlu melibatkan korporasi baik BUMN dan swasta melalui penerapan pola Public Private Partnership. (Kamis (19/11/2020).
Korporasi milik BUMN yang digandeng PT Agro Industri Nasional (PT Agrinas), PT Rajawali Nusantara Indonesia, PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, dan PT Pupuk Kujang mengembangkan food estate guna memacu produksi beras nasional.
Selain korporasi milik BUMN kerjasama juga dengan korporasi asing. Seperti yang dinyatakan oleh Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, pemerintah berupaya menjaga ketersediaan pangan secara berkelanjutan melalui program Food Estate.
Salah satunya dengan penjajakan kerjasama dengan sejumlah negara seperti China, Belanda, dan Taipe. Makin menegaskan bahwa pemerintah hanya berperan sebagai regulator yakni jembatan antara pemilik modal dan rakyat.
Dalam hal pengembangan lumbung pangan pun diserahkan pada swasta tidak terjun langsung mandiri dalam pengelolaan dan pengembangannya.
Jelas jika bekerja sama dengan korporasi yang berorientasi pada profit bukan benar-benar mengurusi urusan rakyat. Terlebih proyek food estate ini hanya berpihak pada korporasi bukan kepentingan rakyat. Buktinya hutan-hutan dibabat dijadikan food estate padahal hasil hutan digunakan warga sekitar. Dulu ketika masih ada hutan mereka tidak kebanjiran kini sering banjir.
Tak bisa dipungkiri penyebab krisis pangan yang melanda negeri ini bahkan dunia akibat penerapan sistem kapitalis yang serakah. Zero hunger yang dikampanyekan nyatanya hanyalah jargon dan solusi tambal sulam.
Selama masih memakai paradigma kapitalis persoalan krisis pangan tidak pernah selesai. Politik Pangan dalam Islam. Sistem Islam memiliki cara pandang melayani urusan umat, sehingga pengelolaan pangan haruslah dengan sistem politik dan sistem ekonomi Islam.
Seorang pemimpin atau kepala negara adalah penanggung jawab urusan rakyatnya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah ” Imam/khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR. Bukhari Muslim).
Islam juga mengatur kepemilikan lahan dan pemanfaatan. Jika tanah yang berpotensi untuk bercocok tanam tidak ada yang menggarap setelah tiga tahun, maka negara dapat mengambilnya dan memberikan pada orang dapat memanfaatkan tanah tersebut.
Selanjutnya, negara juga mendorong warga untuk bertani. Negara wajib mensupport penuh para petani yakni dengan menyediakan tanah, bibit, pupuk, dan lain-lain.
Memberikan edukasi pada para petani terkait hal-hal yang berhubungan dengan pertanian. Negara harus melakukan berbagai upaya preventif dan kuratif sebagai antisipasi terjadinya krisis pangan.
Yakni negara wajib memastikan seluruh irigasi berfungsi dengan baik, waduk-waduk terisi dengan air, menyediakan lumbung-lumbung pangan sebagai antisipasi krisis pangan.
Di samping itu, terkait pengelolaan harta milik umum seperti hutan dan air, maka tidak boleh dieksploitasi oleh swasta yang dapat menimbulkan kemudharatan. Namun, semua itu dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat.
Maka sudah semestinya paradigma kapitalisme diubah menjadi paradigma sahih, yakni paradigma Islam yang berdasarkan aturan Allah Swt.
Sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh umat.
Oleh: Ninis (Aktivis Muslimah Balikpapan)