Opini

Gas Melon Bukan Langka, Tapi Salah Kelola

Bujurnews – Kelangkaan gas melon 3 kg kembali terjadi di berbagai daerah. Di antaranya terjadi di Kabupaten Bojonegoro yang dikenal sebagai daerah penghasil minyak dan gas bumi di Jawa Timur, di Sumatera Barat, di Kota Bukittinggi dan Padang kelangkaan sudah terjadi sejak dua minggu terakhir. Denpasar, Banyuwangi dan di Kalimantan Timur (Kaltim) sendiri yaitu Kukar, PPU juga Samarinda yang wilayahnya dekat dengan sumber gas alam dan mineral.

Untuk wilayah Kaltim sendiri, dijelaskan oleh Arya Yusa Dwicandra, Area Manager Communication, Relations and CSR PT. Pertamina Patra Niaga Regional Kalimantan, menyampaikan bahwa hingga Juni penyaluran elpiji 3 kilogram bersubsidi di wilayah Kaltim sudah melebihi kuota hingga 8 persen dari kuota rata-rata penyaluran bulanan. Kaltim mendapat kuota 36.962.826 tabung dan yang sudah di salurkan hingga Juni 2023 sebanyak 17.294.280 tabung. Dengan adanya kelebihan kuota ini seharusnya tidak terjadi kelangkaan gas elpiji tetapi faktanya kelangkaan gas tetap terjadi.

Penyebab kelangkaan gas elpiji sendiri disebabkan adanya peningkatan permintaan gas elpiji jenis 3 kg. Akibatnya meningkat pula pemakaian yang tidak diimbangi ketersediaan gas elpiji saat itu. Seperti diketahui bahwa gas elpiji yang beredar di tengah masyarakat terbagi menjadi gas bersubsidi dan non subsidi yang dikemas dalam kemasan tabung yang berbeda ukuran dan warnanya.

Dampak yang ditimbulkan akibat kelangkaan gas ini yaitu penurunan omset dari bisnis yang bergerak di sektor kuliner, terutama pedagang gorengan, usaha rumahan. Selain itu, aktivitas masyarakat terganggu, karena waktu yang ada dipakai untuk mengantri atau berkeliling mencari gas elpiji. Selain itu terjadi spekulasi harga elpiji dan hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Gas bersubsidi 3 kg dengan tabungnya berwarna hijau sebagai penandanya diperuntukkan khusus untuk masyarakat miskin. Bahkan syarat untuk membelinya dengan memakai KTP, tetapi faktanya masyarakat yang oleh pemerintah katakan “mampu” juga ikut membelinya. Hal ini dikarenakan harga yang ditetapkan untuk yang non subsidi lebih mahal, sedangkan kebutuhan akan gas adalah kebutuhan harian, tidak peduli kaya ataupun miskin. Bagi pedagang gorengan dan usaha menengah terbantukan dengan adanya gas bersubsidi bahkan tidak jarang mempunyai beberapa cadangan untuk memperlancar usahanya ini.

Inilah yang memicu terjadinya kelangkaan di masyarakat, hanya saja kelangkaan itu terbatas pada gas elpiji 3 kg bersubsidi, sedangkan untuk non subsidi aman saja. Artinya ini bukan kelangkaan barang/ bahan baku tetapi kelangkaan dikarenakan “setting” pendistribusian yang dibedakan dengan label miskin dan tidak miskin atau subsidi dan non subsidi.

Berdasarkan data penduduk miskin di Kaltim bertambah. Yakni berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) Persentase penduduk miskin di Provinsi Kaltim pada September 2022 naik menjadi 6,44 persen atau meningkat 0,13 poin persen terhadap Maret 2022. Masalah kemiskinan belum selesai, muncul istilah kemiskinan ekstrem. Kemiskinan ekstrem inilah nantinya yang akan jadi standar baru bagi penerima gas bersubsidi 3 kg.

PT Pertamina (Persero) mengatakan uji coba pembelian LPG 3 kg secara terbatas akan rampung tahun ini, sehingga dipastikan tidak semua orang bisa membeli LPG subsidi tersebut mulai tahun 2024. Menteri ESDM, Arifin Tasrif, menjelaskan alasan pembatasan komoditas subsidi tersebut karena penjualannya terus meningkat, sementara LPG nonsubsidi terus turun.

Demikianlah pangkal masalah ketika hal yang menjadi kebutuhan mendasar dibedakan berdasarkan kaya dan miskin. Hanya yang miskin saja yang mendapatkan kemudahan sedangkan orang yang mampu atau kaya tidak usah dibantu dikarenakan mereka mempunyai uang yang berlebih. Padahal jelas bahwa kebutuhan akan gas ini adalah kebutuhan hidup semua masyarakat, apalagi dengan sumber daya alam yang melimpah.

Beginilah sistem kehidupan sekulerisme, di mana pola ekonominya diatur oleh para kapitalis. Orientasi perekonomian kapitalisme adalah untung dan rugi. Kepemilikan dalam sistem ekonomi kapitalisme memberikan ruang yang luas untuk dapat memiliki apapun. Siapapun dapat untuk memilikinya dan sebanyak apapun yang bisa dimiliki. Termasuk kepemilikan sumber daya alam yang nyata merupakan kebutuhan hidup manusia secara umum. Maka tidak heran dalam sistem ekonomi kapitalisme pengelolaan dari mengeksplorasi hingga pendistribusian bisa dilakukan oleh pihak swasta.

Pengelolaan sumber daya alam yang dikuasai oleh swasta akan berorientasi pada profit. Maka di sini jelas bahwa konsumennya adalah masyarakat. Pola pendistribusian subsidi dan non subsidi dengan dalih pengentasan kemiskinan bukanlah solusi bahkan bisa menambah masalah baru. Sebagaimana diketahui bahwa Pemprov Kaltim pada tahun 2024 akan menerapkan gas elpiji 3 kg khusus untuk mereka yang miskin ekstrem. Dengan kata lain, seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika pengeluarannya di bawah Rp. 10.739/orang/hari atau Rp. 322.170/orang/bulan (BPS, 2021).

Hal itu sangat berbeda dengan Islam dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Islam adalah ajaran yang sempurna dan lengkap, maka segala problematika kehidupan akan terpecahkan jika memakai standar dari Alqur’an dan Sunnah.

Dalam Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing.

Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw : Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api. (HR Ibnu Majah).

Kemudian, Rasul saw juga bersabda:Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api. (HR Ibnu Majah).

Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul Saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul Saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul Saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).

Maka jelas bahwa tambang yang jumlahnya sangat besar baik garam maupun selain garam seperti batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dan sebagainya, semuanya adalah milik umum dikelola negara dan hasilnya diperuntukan bagi seluruh masyarakat. Oleh karena itu, jika benar mengelola sumber daya alam dengan Islam maka kelangkaan gas tidak akan terjadi bahkan berlimpah dan gratis untuk masyarakat. Wallahu’allam.

Penulis : Irma Ismail

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button