Muhammad Rizky Setiawan 2208016234
Kasus pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029 telah memicu diskusi yang mendalam di kalangan masyarakat, pakar hukum, dan para pengamat politik mengenai kepatuhan terhadap prinsip konstitusi dan integritas sistem peradilan. Pencalonan ini dipandang oleh sebagian pihak sebagai preseden penting yang menguji komitmen terhadap aturan konstitusional, khususnya yang diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menetapkan syarat usia minimal dan pengalaman politik untuk calon presiden dan wakil presiden. Syarat ini menimbulkan pertanyaan mengenai validitas pencalonan Gibran sebagai figur publik yang relatif muda dan baru di dunia politik, khususnya dalam konteks pengalaman politik yang terbatas serta relevansi usia dalam menentukan kompetensi kepemimpinan.
Tidak hanya dari aspek konstitusional, kasus ini juga memunculkan perdebatan mengenai etika dan independensi peradilan, khususnya peran hakim dalam menafsirkan dan memutuskan perkara yang berkaitan dengan syarat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 169 huruf q.
pencalonan pejabat negara. Independensi hakim adalah aspek mendasar dalam sistem hukum yang harus bebas dari pengaruh politik, sebagaimana diatur dalam berbagai ketentuan tentang kekuasaan kehakiman yang mandiri dan tidak memihak. Beberapa pihak berpendapat bahwa hakim harus secara ketat berpegang pada aturan konstitusi dan menjaga integritas peradilan dengan tidak terpengaruh oleh tekanan atau kepentingan politik. Di sisi lain, terdapat pula pandangan yang menyatakan bahwa penafsiran konstitusi harus adaptif sesuai perkembangan zaman, yang memungkinkan calon-calon muda berkontribusi dalam kepemimpinan nasional.
Namun, berbagai indikasi mengenai adanya potensi pelanggaran kode etik hakim dalam kasus ini turut menjadi sorotan. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) menetapkan bahwa hakim harus bertindak dengan independensi dan integritas dalam menjalankan tugasnya, khususnya dalam perkara yang menyangkut kepentingan publik dan konstitusi.4 Dalam proses hukum yang berkaitan dengan pencalonan Gibran, banyak pihak mempertanyakan apakah hakim tetap berpedoman pada prinsip-prinsip integritas dan independensi, ataukah justru rentan terhadap pengaruh politik. Pelanggaran kode etik hakim dalam konteks ini Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan Nomor 02/PB/IX/2012 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tidak hanya akan melemahkan kepercayaan publik terhadap peradilan, tetapi juga dapat merusak prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah dalam kasus pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden terdapat unsur pelanggaran konstitusi serta apakah proses hukum yang mengiringi pencalonan tersebut menunjukkan adanya pelanggaran kode etik hakim. Dengan pendekatan hukum tata negara dan etika peradilan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai implikasi kasus ini terhadap sistem demokrasi Indonesia dan integritas peradilan. Analisis ini penting untuk mengevaluasi ke depan, baik dalam penguatan aturan konstitusional maupun dalam pengawasan kode etik hakim, demi menjaga kualitas demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.
Kasus pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode 2024-2029 telah menarik perhatian luas, baik dari kalangan masyarakat, akademisi, maupun praktisi hukum. Diskusi yang muncul terkait dengan kepatuhan terhadap prinsip konstitusi dan integritas sistem peradilan memberikan peluang untuk melakukan analisis perundang-undangan yang mendalam. Analisis ini bertujuan untuk mengevaluasi kesesuaian pencalonan tersebut dengan ketentuan hukum yang berlaku serta implikasi dari proses hukum yang menyertainya.
Langkah pertama dalam analisis perundang-undangan adalah mengidentifikasi regulasi yang relevan. Dalam konteks pencalonan Gibran, Pasal 169 huruf q Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi acuan utama. Pasal ini secara eksplisit mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon presiden dan wakil presiden, termasuk syarat usia minimal dan pengalaman politik. Oleh karena itu, analisis mendalam terhadap ketentuan ini sangat penting untuk menilai keabsahan pencalonan Gibran.
Setelah mengidentifikasi regulasi yang relevan, langkah selanjutnya adalah mengevaluasi sejauh mana pencalonan Gibran sesuai dengan ketentuan hukum tersebut. Dalam hal ini, aspek usia dan pengalaman politiknya perlu dianalisis secara komprehensif. Apakah Gibran memenuhi syarat usia minimal yang ditetapkan? Dan apakah pengalaman politiknya cukup untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sangat penting, karena akan menentukan validitas pencalonan Gibran di mata hukum.
Selain itu, analisis perundang-undangan juga melibatkan pemahaman tentang bagaimana hukum ditafsirkan oleh lembaga peradilan. Dalam konteks ini, penting untuk mengkaji bagaimana hakim dan lembaga peradilan lainnya menafsirkan ketentuan konstitusi dan undang-undang yang berkaitan dengan syarat pencalonan. Ada dua pendekatan yang dapat diambil: pertama, interpretasi hukum yang ketat, yang berfokus pada penerapan syarat-syarat konstitusi; kedua, pendekatan yang lebih adaptif yang memungkinkan calon-calon muda untuk berkontribusi dalam kepemimpinan nasional. Keduanya memiliki implikasi yang signifikan terhadap cara hukum diterapkan dalam kasus pencalonan ini.
Analisis perundang-undangan juga perlu mencakup evaluasi terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Dalam hal ini, perlu diteliti apakah hakim yang memutuskan perkara terkait pencalonan Gibran bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip independensi dan integritas. Apakah keputusan hakim dipengaruhi oleh faktor eksternal atau kepentingan politik? Poin ini menjadi penting, karena pelanggaran kode etik hakim tidak hanya berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap peradilan, tetapi juga dapat melemahkan prinsip- prinsip demokrasi dan keadilan.
Analisis perundang-undangan harus mencakup penilaian terhadap implikasi hukum dari temuan yang didapat. Temuan ini dapat memberikan gambaran mengenai dampak terhadap kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan demokrasi di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga dapat menghasilkan rekomendasi untuk memperkuat regulasi yang ada agar lebih efektif dalam menangani situasi serupa di masa mendatang. Pengawasan terhadap kepatuhan hakim terhadap kode etik juga perlu ditingkatkan demi menjaga integritas peradilan.
Melalui analisis perundang-undangan yang mendalam, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai validitas pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden, serta implikasi hukum yang lebih luas bagi sistem demokrasi dan integritas peradilan di Indonesia. Analisis ini sangat penting, tidak hanya untuk kasus ini, tetapi juga untuk memperkuat pemahaman masyarakat tentang pentingnya kepatuhan terhadap prinsip-prinsip konstitusi dan etika dalam praktik hukum. Dengan demikian, analisis perundang-undangan dapat menjadi alat yang efektif untuk menjaga kualitas demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.
Pelanggaran Kode Etik Hakim dalam Kasus Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI 2024-2029
Isu pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI untuk periode 2024-2029 memunculkan polemik di tengah masyarakat, terutama dalam hal dugaan adanya pelanggaran konstitusi dan kode etik hakim. Kehadiran Gibran dalam kontestasi politik ini berpotensi menimbulkan benturan antara kekuasaan politik dan independensi lembaga peradilan yang seharusnya bebas dari pengaruh politik mana pun. Oleh karena itu, penting untuk melakukan kajian mendalam mengenai kemungkinan pelanggaran kode etik hakim dalam keputusan yang berkaitan dengan kasus ini, mengingat bahwa prinsip independensi, integritas, dan ketidakberpihakan adalah landasan utama yang harus dijaga oleh setiap hakim.
Pelanggaran Prinsip Independensi Hakim
Prinsip independensi hakim merupakan elemen fundamental dalam sistem peradilan yang adil. Independensi hakim menuntut bahwa hakim harus bebas dari segala bentuk pengaruh eksternal, baik dari pihak pemerintah, kepentingan politik, maupun tekanan sosial lainnya. Dalam kasus pencalonan Gibran, yang memiliki hubungan langsung dengan Presiden Joko Widodo, muncul kekhawatiran tentang adanya potensi intervensi yang bisa mempengaruhi keputusan hakim.
Independensi hakim dilindungi oleh Pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman harus merdeka dan bebas dari campur tangan pihak lain. Di samping itu, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) secara tegas menyatakan bahwa setiap hakim harus menjaga kemandirian dan tidak boleh tunduk pada pengaruh eksternal yang bisa merusak keadilan. Namun, dalam praktiknya, independensi ini sering kali diuji ketika ada kasus yang melibatkan kepentingan politik atau individu yang berpengaruh. Jika hakim dalam kasus ini tidak mampu mempertahankan independensinya dan terindikasi tunduk pada pengaruh politik, maka ini bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap kode etik kehakiman.
Pelanggaran Integritas Hakim
Integritas adalah nilai yang menuntut hakim untuk bertindak jujur, adil, dan bermoral tinggi. Hakim harus memastikan bahwa keputusan yang dibuat bebas dari kepentingan pribadi dan murni berdasarkan hukum yang berlaku. Dalam kasus pencalonan Gibran, integritas hakim diuji dalam bagaimana mereka menangani isu hukum yang terkait dengan pencalonan ini, khususnya jika terdapat keraguan mengenai kelayakan pencalonan dari sudut pandang konstitusi.
Dasar hukum yang melandasi pentingnya integritas hakim dapat ditemukan dalam KEPPH, yang mewajibkan hakim untuk bertindak dengan penuh kehormatan dan kejujuran. Pelanggaran terhadap integritas ini tidak hanya mencederai keadilan, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Ketika ada indikasi bahwa hakim mungkin saja mengabaikan asas integritas demi memenuhi tekanan politik atau kepentingan tertentu, maka dapat dikatakan bahwa terjadi pelanggaran serius yang tidak hanya melanggar kode etik, tetapi juga prinsip dasar hukum.
Pelanggaran Ketidakberpihakan Hakim
Ketidakberpihakan adalah salah satu aspek utama dari prinsip keadilan. Hakim harus memastikan bahwa setiap keputusan yang dibuatnya didasarkan pada hukum dan fakta yang ada, bukan pada preferensi atau bias pribadi. Dalam konteks pencalonan Gibran, hakim dituntut untuk sepenuhnya objektif dalam menilai dasar- dasar hukum pencalonan tersebut, tanpa dipengaruhi oleh kedekatan hubungan politik maupun keluarga kandidat.
Ketidakberpihakan juga diatur secara tegas dalam KEPPH, yang mewajibkan hakim untuk mengambil sikap netral dan bebas dari segala prasangka dalam menjalankan tugas. UUD 1945 dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman juga menggarisbawahi pentingnya ketidakberpihakan sebagai bagian dari hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan keadilan yang tidak memihak. Jika dalam penanganan kasus ini hakim terlihat mengambil posisi yang cenderung mendukung atau bahkan melindungi pencalonan Gibran, hal ini dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran kode etik yang serius, karena menunjukkan adanya bias yang tidak sesuai dengan prinsip netralitas peradilan.
Dasar Hukum Kasus Pelanggaran Konstitusi & Kode Etik Dalam Pencalonan Gibran Rakabuming Sebagai Wakil Presiden RI 2024-2029
Perundang-undangan yang relevan dalam menganalisis kasus pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI 2024-2029 serta potensi pelanggaran konstitusi dan kode etik hakim adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
Pasal 6A: Mengatur tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 7: Menetapkan batas waktu jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 24: Menyatakan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan independen untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Pasal 27 ayat (1): Menjamin persamaan hak seluruh warga negara di depan hukum.
b. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Mengatur syarat-syarat calon Presiden dan Wakil Presiden, termasuk syarat usia dan pengalaman yang diperlukan.
c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu)
Pasal 169: Mengatur syarat-syarat calon presiden dan wakil presiden, termasuk persyaratan usia dan pengalaman politik.
Pasal 227: Mengatur tentang tata cara pencalonan dan syarat administratif yang harus dipenuhi oleh calon peserta pemilu.
d. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Menyatakan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yang independen dan bebas dari campur tangan pihak mana pun.
Menetapkan tugas dan kewajiban hakim untuk menjaga integritas, independensi, dan ketidakberpihakan dalam menjalankan tugasnya.
e. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (beserta perubahan-perubahannya)
Mengatur peran dan kewenangan Mahkamah Agung dalam menjagasupremasi hukum dan integritas hakim.
f. Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan Nomor 02/PB/IX/2012 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)
Menyatakan pedoman perilaku yang wajib diikuti oleh hakim dalam menjaga independensi, integritas, dan ketidakberpihakan. Juga menjelaskan standar etis yang harus dijaga hakim dalam proses peradilan dan penanganan perkara.
g. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Mengatur tata kelola administrasi pemerintahan yang baik dan bebas dari konflik kepentingan, yang juga mencakup tata cara pengambilan keputusan yang sesuai dengan prinsip keadilan dan hukum yang berlaku.
Dampak dan Implikasi Kasus Pencalonan Gibran Rakabuming Raka Sebagai Wakil Presiden RI 2024-2029 Terhadap Konstitusi & Pemilu Di Masa Mendatang
Dampak dan implikasi yang mungkin muncul dari kasus pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI 2024-2029 terhadap konstitusi dan sistem pemilu di Indonesia mendatang mencakup hal-hal sebagai berikut:
Dampak Terhadap Konstitusi dan Prinsip Ketatanegaraan
Kasus pencalonan Gibran Rakabuming Raka memiliki potensi dampak yang signifikan terhadap integritas konstitusi Indonesia. Dalam hal ini, konstitusi yang seharusnya menjadi pedoman utama bernegara diuji kekuatannya dalam menerapkan prinsip-prinsip dasar, khususnya dalam hal persyaratan pencalonan pejabat negara. Bila pencalonan ini dianggap sah meski terdapat keraguan mengenai konstitusionalitasnya, ini dapat menciptakan preseden yang memungkinkan pelonggaran standar konstitusional di masa depan. Hal ini juga bisa mengundang interpretasi yang lebih longgar atas syarat-syarat jabatan tinggi negara, seperti usia minimum atau pengalaman politik, yang bisa saja digunakan oleh kelompok tertentu untuk meloloskan kandidat yang tidak memenuhi kriteria secara ketat.
Di sisi lain, implikasi terhadap konstitusi tidak hanya soal interpretasi undang-undang, tetapi juga pada prinsip dasar rule of law yang harus dijunjung tinggi dalam proses pencalonan pejabat negara. Jika prinsip-prinsip dasar dalam konstitusi tidak dipertahankan secara konsisten, konstitusi berpotensi mengalami degradasi sebagai dasar hukum tertinggi, terutama dalam penegakan hukum yang seharusnya berlaku tanpa pandang bulu. Hal ini pada akhirnya dapat melemahkan supremasi hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Implikasi Terhadap Sistem Pemilu di Indonesia
Dari sisi sistem pemilu, kasus pencalonan Gibran juga memberikan dampak signifikan yang bisa berlanjut dalam jangka panjang. Pemilu sebagai proses demokrasi mengedepankan prinsip keterbukaan, keadilan, dan kesetaraan kesempatan bagi seluruh warga negara yang memenuhi syarat untuk mencalonkan diri. Jika pencalonan yang bersangkutan tetap dilanjutkan, meski dengan kontroversi mengenai syarat usia dan pengalaman, maka ada kemungkinan bahwa standar pencalonan akan bergeser dan menjadi lebih fleksibel. Ini dapat membuka pintu bagi calon-calon lain yang mungkin tidak memiliki latar belakang atau pengalaman politik yang cukup, namun bisa tetap maju melalui dukungan politik tertentu.
Lebih lanjut, jika kasus ini berlanjut tanpa adanya kepastian hukum yang jelas, maka kepercayaan publik terhadap sistem pemilu dapat menurun. Masyarakat mungkin akan mempertanyakan sejauh mana penegakan aturan pemilu dapat berjalan adil dan transparan jika terdapat pengecualian-pengecualian yang dianggap menguntungkan pihak tertentu. Penurunan kepercayaan publik ini bisa mengancam partisipasi masyarakat dalam pemilu, yang pada akhirnya merugikan demokrasi secara keseluruhan.
Preseden Terhadap Regulasi Pencalonan dan Etika Politik
Kasus ini juga berpotensi menciptakan preseden yang dapat mempengaruhi regulasi pencalonan di masa mendatang. Dalam konteks etika politik, pencalonan Gibran sebagai wakil presiden berpotensi dilihat sebagai pengabaian terhadap prinsip meritokrasi dan aturan main yang seharusnya berlaku untuk semua. Jika aturan konstitusional mengenai pencalonan diabaikan atau dilonggarkan, maka hal ini dapat mendorong praktik-praktik yang kurang etis dalam politik, di mana calon- calon yang belum memenuhi kualifikasi diberi kesempatan atas dasar pertimbangan politik.
Selain itu, dampaknya juga bisa merambat ke regulasi pemilu dan ketentuan pencalonan pejabat negara. Adanya ketidakjelasan dalam aturan usia dan pengalaman dalam pemilu bisa memicu perdebatan hukum dan politik, serta kemungkinan amandemen terhadap undang-undang yang berkaitan dengan persyaratan calon pemimpin negara di Indonesia. Ini juga dapat mendorong diskusi publik mengenai peran usia dan pengalaman dalam memastikan kualitas kepemimpinan nasional.
Implikasi Terhadap Independensi dan Etika Kehakiman
Kasus ini juga memiliki dampak besar terhadap integritas dan independensi kehakiman, terutama karena penafsiran konstitusi dan undang-undang mengenai pencalonan pejabat tinggi negara berada di bawah kewenangan peradilan. Jika hakim yang memutuskan perkara terkait pencalonan Gibran tidak sepenuhnya menjaga independensi dan mengikuti kode etik kehakiman, maka ini dapat memicu persepsi publik bahwa pengadilan dipengaruhi oleh kekuatan politik. Hal ini akan sangat merugikan kredibilitas peradilan dalam jangka panjang dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum di Indonesia.
Dari perspektif kode etik kehakiman, kasus ini juga menuntut pengawasan yang lebih ketat dari lembaga pengawas, seperti Komisi Yudisial, untuk memastikan bahwa hakim yang menangani kasus tersebut berpegang pada prinsip independensi, integritas, dan ketidakberpihakan. Jika ditemukan adanya pelanggaran kode etik, hal ini akan memperkuat argumen bahwa terdapat tekanan politik dalam proses hukum, yang pada akhirnya merusak asas keadilan dalam pemilu dan penegakan hukum.
Implikasi Sosial dan Politik
Kasus pencalonan Gibran sebagai wakil presiden juga berpotensi menimbulkan implikasi sosial dan politik yang lebih luas. Secara sosial, masyarakat mungkin mulai memandang aturan konstitusi dan pemilu sebagai sesuatu yang fleksibel atau mudah diubah, sehingga melemahkan kepastian hukum. Secara politik, keputusan ini juga bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjustifikasi pencalonan figur-figur publik yang masih minim pengalaman di masa mendatang, yang bisa berdampak pada kualitas kepemimpinan dan stabilitas pemerintahan.
Pada akhirnya, dampak kasus ini terhadap sistem ketatanegaraan dan politik Indonesia akan sangat tergantung pada sejauh mana lembaga-lembaga terkait menjaga prinsip-prinsip dasar konstitusi. Jika kasus ini tidak diantisipasi dengan baik, maka risiko terjadinya ketidakstabilan politik akan semakin besar, seiring dengan melemahnya kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan dan hukum.
Analisis ini menunjukkan bahwa kasus pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI membawa dampak yang signifikan tidak hanya terhadap konstitusi dan sistem pemilu, tetapi juga terhadap etika politik, independensi peradilan, dan kepercayaan publik. Kasus ini menyoroti pentingnya penegakan prinsip konstitusional dan hukum yang konsisten demi menjaga integritas sistem demokrasi di Indonesia.
Kesimpulan dan Saran
Kasus pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI periode 2024-2029 menyoroti pentingnya penegakan prinsip konstitusional yang konsisten dan adil. Pencalonan ini memicu berbagai pertanyaan terkait kepatuhan terhadap syarat konstitusional, khususnya dalam hal persyaratan usia dan pengalaman. Dalam konteks ini, kasus ini menjadi ujian bagi integritas konstitusi dan kode etik kehakiman. Jika aturan main dalam proses pencalonan pejabat tinggi negara diabaikan, maka ada risiko pelemahan terhadap supremasi hukum serta penurunan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemilu dan lembaga peradilan.
Implikasi dari kasus ini sangat luas, mencakup potensi pergeseran standar konstitusional dalam pencalonan pejabat negara, pengaruhnya terhadap independensi hakim, serta kemungkinan meningkatnya praktik-praktik politik yang kurang etis. Di masa depan, jika prinsip-prinsip konstitusional tidak dijunjung tinggi, hal ini dapat membuka peluang bagi calon-calon yang tidak memenuhi persyaratan untuk berpartisipasi dalam politik, yang pada akhirnya dapat memengaruhi kualitas kepemimpinan nasional.
Saran yang bisa diajukan untuk evaluasi pemerintah atas kasus tersebut adalah sebagai berikut:
Penegakan Prinsip Konstitusional Secara Konsisten
Dalam menghadapi kasus serupa, lembaga peradilan dan badan pengawas pemilu harus memastikan bahwa semua calon pejabat negara memenuhi syarat konstitusional yang berlaku. Prinsip-prinsip dasar seperti usia dan pengalaman harus diterapkan dengan ketat tanpa pengecualian untuk menjaga integritas sistem pemilu dan kepercayaan publik.
Pengawasan Ketat terhadap Etika Kehakiman
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung perlu memastikan bahwa hakim yang menangani kasus-kasus yang bersifat politis tetap menjaga independensi, integritas, dan ketidakberpihakan. Pengawasan terhadap kode etik hakim sangat penting untuk memastikan bahwa keputusan diambil berdasarkan hukum yang berlaku, tanpa pengaruh eksternal.
Revisi dan Penegasan Regulasi Pencalonan
Pemerintah bersama DPR perlu mempertimbangkan revisi terhadap undang-undang yang mengatur syarat-syarat pencalonan untuk memastikan adanya kejelasan dan konsistensi dalam pelaksanaannya. Dengan adanya aturan yang tegas dan tidak ambigu, maka diharapkan regulasi ini akan lebih sulit untuk disalahgunakan di masa depan.
Penguatan Pendidikan Politik dan Kesadaran Hukum Masyarakat
Masyarakat perlu diberi pemahaman mengenai pentingnya syarat konstitusional dalam pencalonan pejabat negara dan pentingnya integritas dalam sistem peradilan. Pendidikan politik dan hukum yang baik akan membantu masyarakat untuk lebih kritis terhadap proses politik dan mendukung penegakan aturan secara transparan.
Kesimpulannya, kasus ini menekankan pentingnya menjaga dan memperkuat konstitusi sebagai landasan tertinggi dalam bernegara. Melalui upaya penegakan hukum yang konsisten, pengawasan ketat terhadap lembaga peradilan, serta revisi regulasi yang diperlukan, diharapkan sistem demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia dapat terjaga dan terhindar dari potensi pelemahan di masa depan.
Referensi
Komisi Yudisial & Mahkamah Agung RI. (2012). Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan Nomor 02/PB/IX/2012).
Mantalean, V., & Rastika, I. (2024, Februari 5). Ketua KPU diputus langgar kode etik karena loloskan pencalonan Gibran. Kompas.com. Diakses pada 1 November 15.40 WITA, dari https://nasional.kompas.com/read/2024/02/05/11151871/ketua-kpu- diputus-langgar-etik-karena-loloskan-pencalonan-gibran
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2016). Panduan Penafsiran Konstitusi.
Rustandi, E. (2022). Analisis Kode Etik dan Implikasinya pada Sistem Peradilan. Bandung: Mandar Maju.
Sugianto, I. P. (2021). Prinsip Independensi dalam Sistem Peradilan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 169 huruf q.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
*Opini berikut ditulis oleh Muhammad Rizky Setiawan, dari Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, 2208016234. Redaksi Bujurnews tidak bertanggungjawab dengan isi yang ditampilkan penulis.
