Bujurnews – Profesi hukum adalah salah satu pilar utama dalam sistem peradilan di Indonesia. Sebagai profesi yang secara langsung berkaitan dengan pencapaian keadilan, profesi ini dituntut untuk menjaga integritas moral dan etika. Setiap individu dalam profesi hukum, mulai dari advokat hingga hakim, memikul tanggung jawab besar dalam menjaga prinsip-prinsip keadilan yang hakiki, tanpa terpengaruh oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Dalam konteks ini, etika profesi hukum menjadi lebih dari sekadar panduan dalam bertindak; ia adalah kompas moral yang harus memandu setiap langkah seorang praktisi hukum, agar proses peradilan tidak hanya menjadi sekadar teknis, tetapi juga adil dan berperikemanusiaan.
Tanggung jawab profesi hukum tak sekadar berkutat pada pencapaian kemenangan di ruang sidang, melainkan juga mencakup keharusan untuk menjaga martabat dan kredibilitas sistem hukum. Seorang advokat, misalnya, tidak hanya dituntut untuk membela klien dengan segenap kemampuan, tetapi juga untuk memastikan bahwa pembelaannya tidak merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan itu sendiri.
Dalam hal tersebut, setiap praktik hukum harus dijalankan dengan integritas dan prinsip-prinsip moral yang tidak bisa ditawar, meski dalam situasi yang penuh tekanan. Ini adalah esensi dari kode etik yang harus dijunjung tinggi oleh setiap praktisi hukum, sebagaimana diatur dalam Kode Etik Advokat Indonesia, yang mengharuskan para advokat untuk tidak menggunakan cara-cara yang bisa menodai martabat profesinya demi keuntungan klien.
Namun, kenyataan dalam praktiknya seringkali menunjukkan ketegangan antara idealisme etika dan pragmatisme yang mendominasi jalannya peradilan. Salah satu contoh konkret adalah kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin yang melibatkan Jessica Kumala Wongso. Kasus ini, selain menjadi perhatian publik karena unsur emosional yang melibatkan seseorang yang dikenal luas, juga menjadi ujian berat bagi profesi hukum itu sendiri, baik dari segi pembelaan maupun proses persidangannya. Sebagai pembela, tim kuasa hukum Jessica menggunakan berbagai strategi untuk membangun narasi pembelaan, bahkan hingga mencoba mengalihkan perhatian publik dengan cara yang dianggap oleh sebagian orang sebagai upaya memanipulasi opini masyarakat.
Sebagian pihak menilai bahwa teknik-teknik yang digunakan oleh tim pembela tersebut terkesan melampaui batas etika profesi, yang seharusnya mengutamakan penggunaan fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam konteks ini, upaya untuk memutarbalikkan fakta dan mempengaruhi opini publik melalui media menjadi problematika etis yang perlu dicermati.
Tentu, advokat memiliki hak dan kewajiban untuk membela kliennya sebaik mungkin, tetapi cara-cara yang digunakan dalam membela klien harus tetap berada dalam batas yang wajar dan tidak merusak nilai-nilai kebenaran serta keadilan. Pada akhirnya, etika profesi hukum tidak hanya berbicara tentang bagaimana cara membela atau menuntut, melainkan bagaimana setiap tindakan dalam profesi ini bisa tetap menghormati prinsip-prinsip keadilan sosial yang lebih luas. Praktik hukum yang tidak berpegang teguh pada etika, pada gilirannya, dapat menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.
Dalam kasus ini, publik yang terpengaruh oleh opini yang berkembang mungkin akan kesulitan untuk menerima proses hukum yang terjadi, dan meragukan integritas hakim dan jaksa yang terlibat. Maka, bukan hanya profesi advokat yang terikat oleh kode etik, tetapi juga hakim dan jaksa, yang dalam kedudukan mereka sebagai penegak hukum, seharusnya senantiasa menjaga etika dalam memutuskan perkara, dan tidak membiarkan dirinya terpengaruh oleh faktor eksternal apapun yang bisa mengurangi objektivitas mereka.
Sebuah sistem peradilan yang sehat membutuhkan lebih dari sekadar hukum yang diterapkan dengan mekanisme yang benar. Lebih dari itu, ia membutuhkan profesionalisme yang mengedepankan etika, di mana setiap keputusan yang diambil harus mampu menegakkan keadilan dengan cara yang menghormati hak setiap individu dan menjaga kehormatan masyarakat sebagai keseluruhan.
Tanpa pengawasan etika yang ketat, bukan tidak mungkin bahwa profesi hukum akan terjerumus pada praktik-praktik yang mencoreng sistem peradilan itu sendiri, yang pada akhirnya dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap keadilan yang sesungguhnya. Akhirnya, kesadaran akan etika dan tanggung jawab profesi hukum ini menjadi penting untuk terus dijaga dan dipertahankan, tidak hanya oleh para praktisi hukum, tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, dengan segala kompleksitas hukum dan sosial yang ada, penting untuk diingat bahwa setiap langkah yang diambil oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem peradilan harus selalu berlandaskan pada prinsip keadilan yang tidak bisa dikompromikan. Oleh karena itu, penguatan etika profesi hukum melalui pendidikan dan pengawasan yang ketat akan terus menjadi hal yang sangat relevan untuk memastikan bahwa hukum benar-benar bisa menjadi jalan menuju keadilan yang sesungguhnya. (ape)
*Opini berikut ditulis oleh Sayyidan Ridho Febrinur mahasiwa Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman angkatan 2022. Lahir di Samarinda, 14 Februari 2004. Bujurnews tidak bertanggung jawab dengan isi yang ditampilkan dalam tulisan tersebut.