Tugu Pesut Mahakam Tuai Pro-Kontra, Publik Tanyakan Makna dan Transparansinya
Bujurnews, Samarinda – Pembangunan Tugu Pesut Mahakam di simpang empat Mal Lembuswana, Samarinda, menjadi sorotan publik. Tugu setinggi 8 meter ini dirancang dengan konstruksi baja berwarna merah mencolok, dilapisi kabel plastik daur ulang, dan menelan anggaran Rp1,1 miliar dari APBD 2024.
“Anggarannya diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tahun 2024,” ujar Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Samarinda, Uwim Mursalim ketika dihubungi awak media Bujurnews, pada Selasa (7/1/2025).
Desainnya yang abstrak untuk merepresentasikan siluet Pesut Mahakam, mamalia air tawar khas Sungai Mahakam yang terancam punah tersebut menuai tanggapan yang beragam. Tidak sedikit yang mempertanyakan siluet dan bentuk tugu tersebut. Sebagian bahkan menyamakannya dengan logo aplikasi atau bentuk lain yang tidak relevan.
Kepala Bidang Cipta Karya DPUPR Samarinda, Andriani Hanina, mengonfirmasi bahwa tugu tersebut adalah siluet ikan pesut.
“Menurut arsiteknya itu (tugu Pesut) adalah representasi dari siluet ikan pesut. Kami berharap tugu ini menjadi pengingat akan pentingnya pelestarian fauna endemik sungai Mahakam. Sekaligus menjadi simbol kebanggan masyarakat,” ujarnya.
Pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman, Purwadi, mengungkapkan, anggaran yang besar itu mestinya bisa dialihkan untuk pembangunan yang lebih bermanfaat ketimbang tugu belaka.
Konsep pembangunan Tugu Pesut Mahakam ini mengundang perbandingan dengan tugu-tugu ikonik di kota lain. Misalnya, Tugu Kuda Arjuna Wiwaha di Jakarta yang tidak hanya menampilkan estetika seni tetapi juga merefleksikan kisah Mahabharata sebagai simbol perjuangan. Begitu pula Tugu Jogja di Yogyakarta, yang sederhana tetapi menyimpan nilai sejarah dan spiritual. Kritik terhadap Tugu Pesut Mahakam berpusat pada apakah nilai estetikanya cukup kuat untuk mewakili identitas kota dan menarik wisatawan. Sebagai perbandingan, Tugu Pesut Mahakam memadukan konsep modern dan abstrak, berbeda dengan tugu-tugu di kota lain yang lebih mengedepankan kejelasan figur atau nilai tradisional.
Wali Kota Samarinda, Andi Harun, menanggapi santai kritik ini saat dijumpai pada Senin (6/1/2025).
“Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda terhadap seni, terutama seni abstrak. Tapi, kami tidak sekadar membangun tugu, ini juga bagian dari upaya memperkuat identitas budaya dan melestarikan ikon lokal,” ujarnya.
Simpang empat Mal Lembuswana, lokasi pembangunan Tugu Pesut Mahakam, dikenal sebagai salah satu titik paling sibuk di Samarinda. Dahulu, kawasan ini adalah area strategis yang menghubungkan pusat perbelanjaan dengan akses utama menuju tepian Sungai Mahakam. Pada era 1990-an, simpang ini menjadi salah satu jalur utama untuk perdagangan barang dan jasa di kota Samarinda. Dengan kehadiran Tugu Pesut Mahakam, lokasi ini diharapkan menjadi landmark baru yang meningkatkan daya tarik kawasan tersebut.
Selain aspek estetika, Tugu Pesut Mahakam juga diharapkan memberikan dampak pada kesadaran lingkungan masyarakat. Data dari WWF Indonesia menunjukkan bahwa populasi Pesut Mahakam kini hanya tersisa sekitar 80 ekor, menjadikannya salah satu spesies mamalia air paling langka di dunia. Samarinda sebagai kota yang tumbuh di sepanjang Sungai Mahakam memiliki tanggung jawab besar untuk melestarikan habitatnya.
Meskipun menuai pro dan kontra, Tugu Pesut Mahakam menjadi langkah awal pemerintah Samarinda dalam memadukan seni, identitas budaya, dan kesadaran lingkungan. Kritik dan masukan masyarakat akan dijadikan bahan evaluasi untuk pembangunan kota di masa depan.
“Kritik seperti ini kami anggap sebagai bahan evaluasi untuk terus memperbaiki kinerja kami ke depan,” tutup Andi Harun. (ape/ja)