
Penulis : Hairunnisa Husain
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP-Universitas Mulawarman
(Mahasiswa Program Doktoral Komunikasi Pembangunan, FEMA-IPB University)
Bujurnews, Samarinda – Kota Samarinda sedang dalam fase transformasi yang menarik dan menuju konsep modern. Ambisi untuk menjadi Smart City mendorong pemerintah kota untuk mengadopsi berbagai teknologi modern, seperti ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement) dan E-Parkir. Langkah ini sejalan dengan teori modernisasi yang melihat adopsi teknologi sebagai kunci untuk mencapai kemajuan dan efisiensi dalam pembangunan daerah.
Akan tetapi modernisasi bukan hanya tentang menerapkan dan memasang teknologi baru. Studi kasus di Kota Samarinda menunjukkan bahwa komunikasi publik memegang peranan krusial dalam keberhasilan setiap inisiatif pembangunan. Sosialisasi yang efektif kepada masyarakat menjadi jembatan antara inovasi teknologi dan penerimaan publik.
Tantangannya tidak bisa diabaikan tentunya, resistensi terhadap perubahan, kurangnya pemahaman teknologi di sebagian masyarakat, dan kesenjangan dalam penyampaian informasi merupakan batu sandungan yang harus diatasi. Pemerintah kota perlu menyadari bahwa komunikasi pembangunan bukan hanya sekadar menyampaikan informasi satu arah, tetapi juga membangun dialog dan partisipasi aktif dari masyarakat.
Proses keberhasilan Kota Samarinda dalam mewujudkan Smart City akan sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam mengelola komunikasi publik. Investasi dalam infrastruktur teknologi pun harus diimbangi dengan investasi dalam strategi komunikasi yang inklusif dan partisipatif, sehingga modernisasi tidak hanya mengubah wajah kota, tetapi juga memberdayakan warganya.
Teori modernisasi menganggap pembangunan sebagai proses linear yang melibatkan tahapan-tahapan dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Menurut Lerner (1958), masyarakat modern adalah masyarakat yang memiliki akses informasi yang luas dan sistem pemerintahan yang efisien, di mana teknologi berperan besar dalam memfasilitasi perkembangan tersebut. Dalam konteks pembangunan daerah, modernisasi tidak hanya terbatas pada aspek teknologi, tetapi juga mencakup pada perubahan sosial dan ekonomi yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Teori modernisasi muncul sebagai kerangka kerja konseptual yang dominan dalam studi pembangunan pasca Perang Dunia II, seiring dengan munculnya banyak negara merdeka di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Teori ini pada dasarnya berargumen bahwa negara-negara yang saat itu dianggap “terbelakang” dapat mencapai kemajuan ekonomi dan sosial dengan mengadopsi karakteristik yang dimiliki oleh negara-negara industri maju di Barat. Proses modernisasi dipandang sebagai transformasi holistik yang mencakup perubahan dalam struktur ekonomi (dari agraris ke industri), sistem politik (dari otoriter ke demokratis), tatanan sosial (dari tradisional ke modern), dan nilai-nilai budaya (dari kolektivistik ke individualistik) (Eisenstadt, 1966).
Teori modernisasi klasik sering terjebak dalam pendekatan top-down, di mana pemerintah menjadi satu-satunya sumber informasi. Di Kota Samarinda, sosialisasi E-Parkir melalui Instagram dan TV lokal merupakan salah satu contoh. Akan tetapi Grindle (1980) mengingatkan bahwa keberhasilan kebijakan bergantung pada responsivitas masyarakat. Kegagalan komunikasi terlihat dari resistensi sebagian warga. Misalnya, petugas parkir di Sempaja Barat awalnya kewalahan menjelaskan sistem digital kepada pengendara. Solusinya? Komunikasi partisipatif. Pelibatan tokoh masyarakat, pelatihan berbasis komunitas, atau opsi pembayaran QRIS (tunai dan digital) bisa menjadi jalan tengah. Bagaimana dengan penerapan ETLE di Kota Samarinda? Hampir sama denga E-Parkir, masyarakat kaget dan terbata-bata karena tiba-tiba pada saat mereka hendak membayar kewajiban pajak kendaraan milik mereka terhambat disebabkan informasi bahwa mereka harus melunasi denda pelanggaran berlalu lintas, seperti tidak menggunakan sabuk pengaman pada kendaraan roda 4 atau tidak memakai spion pada motornya. Apa yang salah dengan peneraparan teknologi digital pada penerapan kedua contoh kasus ini? Tidak ada yang salah pada penggunaan teknologinya sebagai bentuk penggunaan alat modern pada ranah lalu lintas, yang kurang adalah tahap edukasi dan sosialisasi Pemerintah Daerah terkait ataupun Kepolisian Daerah terhadap penerapan sistem baru.
Meski progres yang dicapai Samarinda dalam perjalanan menuju kota cerdas patut diapresiasi, tantangan besar masih tetap ada dan harus segera diatasi. Salah satunya adalah memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat dapat mengakses dan memanfaatkan teknologi ini dengan baik. Ketimpangan digital, kurangnya pemahaman tentang teknologi, dan infrastruktur yang belum merata adalah beberapa hambatan yang harus diatasi. Selain itu komunikasi pembangunan daerah juga menghadapi tantangan dalam hal penyampaian informasi yang tepat dan efektif. Adanya kesenjangan informasi antarwarga dengan tingkat pemahaman yang berbeda-beda, menjadi tantangan dalam menyebarkan pesan pembangunan. Untuk itu penting bagi pemerintah daerah untuk terus berinovasi dalam mengemas pesan komunikasi pembangunan agar lebih mudah diterima oleh masyarakat. Dengan menggunakan lensa teori modernisasi, kita dapat menelisik perjalanan Samarinda menuju kota cerdas bukan hanya tentang transformasi teknologi, tetapi juga transformasi sosial dan budaya. Teori modernisasi memberikan perspektif yang luas tentang bagaimana teknologi dan komunikasi bisa saling mendukung untuk menciptakan kota yang lebih baik. Dengan strategi komunikasi yang tepat dan penerapan teknologi yang efektif, Samarinda tidak hanya akan menjadi kota cerdas, tetapi juga menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia dalam mewujudkan kemajuan melalui sinergi teknologi dan masyarakat.Hal ini mencerminkan pemahaman bahwa pembangunan yang sesungguhnya adalah pembangunan yang melibatkan seluruh aspek kehidupan, dan tidak hanya terbatas pada infrastruktur semata.