
Bujurnews, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto akhirnya mengambil sikap tegas di tengah gelombang protes rakyat terhadap besarnya gaji dan tunjangan anggota DPR RI. Dalam pertemuan bersama pimpinan partai politik di Parlemen, Prabowo menyatakan sepakat mencabut tunjangan anggota dewan yang dinilai menyakiti hati rakyat Indonesia.
Langkah ini diambil setelah publik diguncang pernyataan anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, yang mengaku membawa pulang penghasilan lebih dari Rp100 juta per bulan. Ia bahkan menyebut setiap anggota dewan rata-rata menerima Rp3 juta per hari. Pernyataan itu menyulut kemarahan masyarakat, sebab jauh berbeda dengan kondisi buruh yang rata-rata hanya menerima upah minimum, misalnya Rp5,3 juta per bulan di Jakarta.
Situasi semakin memanas usai aksi joget anggota dewan dalam Sidang Tahunan MPR RI pada 15 Agustus 2025. Aksi itu dinilai menginjak perasaan rakyat yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi. Gelombang demonstrasi pun merebak di berbagai daerah sejak 25 Agustus hingga 31 Agustus 2025. Tragedi juga terjadi ketika seorang driver ojek online, Affan Kurniawan, tewas terlindas kendaraan taktis Brimob dalam aksi di Jakarta.
Menanggapi situasi tersebut, Prabowo menegaskan DPR RI akan mencabut sejumlah kebijakan, termasuk tunjangan jumbo serta moratorium kunjungan kerja ke luar negeri. “Para pimpinan DPR menyampaikan akan dilakukan pencabutan beberapa kebijakan DPR RI, termasuk besaran tunjangan dan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri,” kata Prabowo di Istana Merdeka, Minggu (31/8/2025).
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani membantah penetapan tunjangan DPR hanya berdasarkan “selera pribadi”. Ia menegaskan pemerintah telah melibatkan DPR, DPD, serta masyarakat dalam prosesnya. Klarifikasi ini disampaikan setelah rumahnya dijarah kelompok tak dikenal pada 31 Agustus dini hari.
Ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menilai momentum ini harus menjadi titik balik perbaikan sistem keuangan parlemen. Ia mencontohkan Inggris yang usai skandal 2009 membentuk Independent Parliamentary Standards Authority (IPSA), lembaga independen yang khusus mengatur gaji dan tunjangan anggota parlemen.
“Komisi khusus memiliki formula-formula yang didasari kondisi ekonomi, seperti IHK (indeks harga konsumen) maupun median upah pekerja sektor publik lainnya. Formula ini diundangkan secara formal sehingga tidak bisa seenaknya dinaikkan di luar standar,” ujar Andri kepada CNNIndonesia.com, Selasa (2/9).
Menurutnya, tunjangan rumah DPR yang mencapai Rp50 juta per bulan sangat jauh dari realitas. Jika merujuk garis kemiskinan Jakarta Maret 2025 sebesar Rp852.768 per kapita, komponen perumahan hanya 9,11 persen atau sekitar Rp77.687 per bulan per keluarga. Bahkan berdasarkan Survei Biaya Hidup (SBH), pengeluaran perumahan rata-rata warga Jakarta tidak lebih dari Rp3,2 juta per keluarga.
“Wajar atau tidaknya gaji dan tunjangan anggota parlemen itu semestinya hanya bisa diukur dengan standar khusus yang memperhatikan penghasilan kebanyakan masyarakat umum dan kondisi perekonomian. Agar menunjukkan etos keadilan dan tidak ada konflik kepentingan,” tegas Andri.