Bujurnews – Kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat yang melibatkan mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo, menjadi sorotan publik, bukan hanya dalam aspek kriminalitas dan proses peradilan, tetapi juga dalam hal etika profesi advokat yang mendampingi terdakwa. Sebagai profesi yang berperan penting dalam sistem peradilan, advokat diharapkan untuk bertindak dengan integritas, profesionalisme, dan tetap menjaga prinsip keadilan. Oleh karena itu, pelanggaran etika profesi advokat dalam kasus ini perlu dianalisis lebih mendalam, mengingat pentingnya peran mereka dalam memastikan keadilan, meskipun mereka memiliki kewajiban untuk membela klien mereka sesuai dengan hukum yang berlaku.
Kode etik profesi advokat di Indonesia, yang tercantum dalam Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), menegaskan bahwa setiap advokat harus bertindak dengan profesionalisme dan integritas, serta mengutamakan kepentingan klien tanpa mengorbankan kebenaran. Advokat tidak boleh melakukan perbuatan yang merugikan proses hukum, seperti memanipulasi bukti, memberikan pembelaan yang tidak sesuai dengan fakta, atau berusaha memanipulasi opini publik untuk kepentingan klien. Setiap tindakan yang bertentangan dengan prinsip ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kode etik profesi advokat yang harus dijunjung tinggi. Dalam hal ini, kuasa hukum Ferdy Sambo dihadapkan pada dilema etika yang besar, karena mereka memiliki tanggung jawab untuk membela klien dengan sebaik-baiknya, tetapi juga harus menjaga integritas proses hukum dan keadilan.
Dalam kasus ini, sejumlah tindakan yang dilakukan oleh tim kuasa hukum Sambo dapat dianggap melanggar kode etik. Upaya untuk membangun narasi yang lebih mengarah pada citra klien ketimbang fakta-fakta yang ada dapat berpotensi merusak integritas proses peradilan. Misalnya, pengacara yang lebih fokus pada membangun opini publik ketimbang memperjuangkan keadilan di pengadilan dengan bukti yang sah, dapat dikatakan telah melanggar prinsip etika. Pendekatan semacam ini, yang lebih mementingkan pengaruh media daripada substansi hukum, menimbulkan keraguan terhadap komitmen kuasa hukum untuk mempertahankan keadilan dalam proses peradilan.
Tanggung jawab seorang advokat tidak hanya terikat pada kewajiban hukum untuk membela kliennya, tetapi juga pada kewajiban moral untuk memastikan bahwa proses hukum berlangsung dengan adil. Dalam hal ini, pengacara yang terlibat dalam upaya untuk memanipulasi kebenaran atau memanipulasi media dapat dikenakan sanksi hukum dan disipliner. Namun, sanksi tersebut tidak hanya berlaku pada aspek hukum formal, tetapi juga mencakup dampak sosial dan moral yang lebih luas terhadap profesi advokat dan sistem hukum secara keseluruhan. Tanggung jawab moral seorang advokat sangat penting untuk menjaga reputasi profesi dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan yang ada.
Perbandingan dengan kasus serupa di luar negeri, seperti dalam skandal Harvey Weinstein di Amerika Serikat atau kasus korupsi politik di Inggris, memperlihatkan bahwa pelanggaran kode etik advokat bukanlah isu yang terbatas pada Indonesia. Di luar negeri, advokat yang terlibat dalam upaya manipulasi proses peradilan atau dalam penyalahgunaan strategi pembelaan sering kali dikenakan sanksi berat, termasuk pencabutan izin praktik dan dilarang berpraktek sebagai pengacara. Misalnya, dalam kasus Harvey Weinstein, beberapa pengacara yang membela klien mereka dengan menggunakan strategi yang merugikan kebenaran juga menghadapi kritik keras dan sanksi dari organisasi profesi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggaran etika profesi advokat dapat memiliki dampak yang luas dan sering kali melibatkan pertimbangan moral yang lebih besar daripada sekadar hasil akhir dari sebuah perkara.
Dalam kasus Sambo, tindakan kuasa hukum yang lebih menekankan pada citra klien dan upaya untuk mempengaruhi opini publik dengan narasi yang tidak sesuai dengan kenyataan dapat merusak integritas proses peradilan. Jika terbukti bahwa tim kuasa hukum telah melanggar kode etik dan melakukan penyalahgunaan wewenang, mereka dapat menghadapi sanksi serius, baik dalam bentuk pencabutan izin praktek maupun sanksi sosial yang berimbas pada kepercayaan masyarakat terhadap profesi advokat.
Pelanggaran etika profesi advokat tidak hanya merusak kredibilitas individu pengacara, tetapi juga dapat merusak citra profesi secara keseluruhan. Ketika advokat lebih memilih untuk menang dengan cara-cara yang tidak etis, maka mereka tidak hanya merugikan klien mereka, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Sistem peradilan yang baik membutuhkan advokat yang tidak hanya kompeten secara hukum, tetapi juga memiliki integritas moral yang tinggi. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan antara kewajiban untuk membela klien dan kewajiban moral untuk menjaga kebenaran dan keadilan sangat penting bagi keberlanjutan profesi ini.
Kasus Ferdy Sambo ini mengingatkan kita bahwa profesi advokat memegang peran yang sangat penting dalam memastikan bahwa sistem hukum berfungsi dengan baik. Pelanggaran terhadap kode etik profesi advokat tidak hanya berisiko menurunkan kredibilitas pribadi, tetapi juga dapat merusak integritas sistem peradilan itu sendiri. Oleh karena itu, setiap advokat harus menyadari bahwa selain menjalankan tugas profesionalnya, mereka juga bertanggung jawab untuk menjaga nilai-nilai moral dan etika yang menjadi dasar dari sistem hukum yang adil dan berkeadilan. (ape)
*Opini berikut ditulis oleh M. Abid Duta Aroyo mahasiwa Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman angkatan 2022. Bujurnews tidak bertanggung jawab dengan isi yang ditampilkan dalam tulisan tersebut.