Bujurnews, Samarinda — Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Samarinda, menyatakan siap menunggu arahan resmi dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), terkait evaluasi sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun 2025. Kebijakan nasional ini telah diterapkan sejak 2017 dengan tujuan pemerataan pendidikan, namun tetap menghadapi berbagai tantangan di lapangan.
Sistem zonasi awalnya diperkenalkan untuk memastikan siswa dapat bersekolah di dekat tempat tinggal mereka, mengurangi eksklusivitas sekolah favorit, dan meningkatkan pemerataan pendidikan. Kebijakan ini berusaha meniadakan disparitas pendidikan antara sekolah-sekolah yang dianggap favorit dan tidak. Dengan cara memprioritaskan kedekatan geografis siswa dengan sekolah.
“Zonasi adalah upaya untuk mendekatkan akses pendidikan dan meratakan kualitas sekolah di seluruh Indonesia,” ujar Asli Nuryadin, Kepala Disdikbud Samarinda, menegaskan pentingnya filosofi ini, Jumat (13/12/2024).
Kemendikdasmen saat ini tengah mengkaji kembali efektivitas sistem zonasi. Evaluasi awal menunjukkan beberapa keberhasilan dalam menciptakan pemerataan, tetapi tantangan signifikan tetap ada. Salah satunya adalah ketidakseimbangan jumlah murid antara sekolah dengan kapasitas penuh dan yang kekurangan siswa.
“Kalau saya prediksi, perubahannya tidak akan terlalu signifikan. Tetapi porsi untuk jalur prestasi akademik kemungkinan akan meningkat,” sebutnya.
Berdasarkan data Disdikbud Samarinda, kota ini memiliki 863 sekolah dengan 166.691 peserta didik. Semuanya tersebar dalam 6.853 rombongan belajar. Namun, disparitas tetap terlihat. Misalnya SMP Negeri 2 Samarinda, mengalami kekurangan ruang kelas meskipun beberapa SMP baru telah dibangun. Selain itu, daerah blank spot, yakni wilayah yang belum memiliki akses sekolah, menjadi perhatian utama. Masalah ini juga diperburuk oleh sistem zonasi PPDB, yang menyebabkan beberapa wilayah tidak terlayani dengan baik.
Sebuah penelitian mengenai persepsi masyarakat terhadap implementasi kebijakan zonasi di Samarinda menunjukkan bahwa pelaksanaannya menimbulkan gejolak di masyarakat. Kendala yang dihadapi meliputi waktu sosialisasi yang terbatas, kurangnya pemahaman terhadap mekanisme PPDB dengan sistem zonasi, serta standar pendidikan yang masih belum merata.
“Untuk daerah blank spot, kami akan membangun unit sekolah baru sesuai kebutuhan. Namun, realisasinya tergantung pada arahan pusat dan alokasi anggaran,” tambah Asli Nuryadin.
Sementara itu, Ade Armanto, seorang wali murid, berharap perubahan kebijakan PPDB memberikan porsi lebih besar bagi jalur prestasi.
“Anak-anak yang memiliki prestasi tinggi seharusnya diberi kesempatan lebih luas untuk memilih sekolah unggulan,” katanya.
Sedangkan Disdikbud Samarinda mengakui bahwa masalah sekolah dengan kapasitas berlebih sulit diatasi sepenuhnya. Penambahan ruang kelas menjadi tantangan karena keterbatasan lahan dan anggaran di beberapa sekolah. Untuk itu, pemerintah kota berencana menambahkan unit sekolah baru di wilayah blank spot, sosialisasi mengenai filosofi zonasi ke masyarakat, serta memberi pelatihan kepada tenaga pendidik untuk mengelola keberagaman siswa.
“Filter dalam PPDB bertujuan untuk memfasilitasi semua segmen, tetapi tidak bisa memuaskan semua pihak. Yang penting, kami terus berupaya meningkatkan pemerataan,” ujar Asli Nuryadin.
Dengan kebijakan zonasi yang terus dievaluasi, Disdikbud Samarinda optimistis dapat menghadapi tantangan sistem pendidikan dengan lebih adaptif. Pemerintah daerah berharap masyarakat mendukung kebijakan baru yang akan diumumkan Kemendikdasmen.
“Kita tunggu saja kebijakan finalnya. Yang pasti, semua keputusan akan kami sesuaikan dengan kebutuhan daerah,” tutup Asli Nuryadin. (Ape/yd)