Opini

Tradisi Mudik Lebaran dalam Perspektif Ritual Komunikasi dan Konstruksi Identitas Nasional


Ditulis: Hairunnisa Husain
Dosen Fisip-Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman
(Mahasiswa Program Doktoral Komunikasi Pembangunan, FEMA-IPB University)


Bujurnews – Tradisi mudik Lebaran di Indonesia merupakan suatu fenomena sosial-budaya yang unik dan kompleks. Mudik (pulang ke kampung halaman) bukan hanya sekadar perjalanan fisik ke suatu tempat seseorang berasal atau tinggal tapi mudik menjelma menjadi suatu ritual komunikasi yang mengandung sarat makna yaitu sebagai wadah pemeliharaan ikatan sosial kemasyarakatan dan memiliki mekanisme penting dalam konstruksi penguatan identitas nasional.

Tuisan ini menjelaskan dan  menganalisis tradisi mudik Lebaran melalui lensa perspektif ritual komunikasi dan konstruksi identitas nasional. Berupaya mengeksplorasi berbagai dimensi simbolik dan interaktif dalam mudik, menguak serta menunjukkan bagaimana praktik mudik tidak hanya mempererat hubungan antar individu dan keluarga, tetapi berkontribusi secara signifikan pada pembentukan dan internalisasi identitas kebangsaan Indonesia.


Secara harfiah mudik dalam bahasa Indonesia berarti “pulang kampung” atau “kembali ke desa halaman”. Pada konteks sosial-budaya Indonesia, mudik merujuk pada tradisi tahunan di mana sejumlah besar orang yang bekerja atau tinggal di wilayah perkotaan kembali ke kampung halaman mereka menjelang hari raya keagamaan, terutama Hari Raya Idul Fitri (Lebaran).

Fenomena ini melibatkan pergerakan populasi yang signifikan dari pusat-pusat ekonomi dan administrasi menuju daerah-daerah di seluruh kepulauan Indonesia, ini kerapkali dilakukan setiap tahun menjelang hari lebaran (terutama Iedul Fitri). Secara etimologis kata “mudik” berasal dari bahasa Jawa “mulih dilik” (pulang sebentar) atau “udik” (arah pedalaman/kampung). Pada konteks modern mudik artinya kegiatan pulang ke daerah asal menjelang lebaran, silaturahmi keluarga, termasuk meminta maaf dan berkumpul dengan sanak saudara atau dapat dikatakan suatu fenomena sosial-ekonomi yang melibatkan transportasi, konsumsi, dan tradisi lokal.


Bagaimana sejarah dan asal-usul mudik? Berawal dari tradisi petani Jawa yang sejak zaman kerajaan, petani di Jawa melakukan perjalanan pulang ke desa setelah bekerja di kota. Kemudian melalui perkembangan era kolonial dimana buruh perkebunan dan pekerja industri Belanda pulang saat libur panjang yang mereka dapatkan tiap tahunnya dan berlanjut booming di era Orde Baru dengan urbanisasi massal dan pembangunan infrastruktur (seperti tol Trans-Jawa) sehingga memudahkan arus mudik (Huda, 2019). Terdapat makna mudik dalam budaya Indonesia yang bukan hanya sekadar melakukan perjalanan fisik, tetapi memiliki beberapa konsep dimensi yaitu:
• Nilai-nilai religius yang terkandung sarat makna seperti pada perayaan menyambut Idul Fitri sebagai momen penyucian diri (menjadi agenda sakral bagi masyarakat Indonesia dibandingkan perayaan lain) dan di dalamnya terdapat tradisi sungkem (permohonan maaf kepada orang tua, kakak dan keluarga serta kerabat yang lebih tua) sebagai bentuk penghormatan.


• Nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang mengakar pada tradisi masyarakat Indonesia dan menjadi ajang untuk memperkuat ikatan keluarga dan komunitas.serta saling berbagi rezeki dengan memberikan uang pada anak-anak (yang lebih muda) istilah saat ini adalah berbagi THR atau angpao serta menyajikan makanan khas lebaran yang disesuaikan khas daerahnya.
• Aspek ekonomi pada setiap momen mudik berdampak pada meningkatnya konsumsi di daerah (contoh: pasar tradisional ramai sebelum Lebaran) dan sektor transportasi (kereta, bus, kapal) mengalami permintaan yang tinggi dan membludak.
• Menciptakan identitas Nasional dan menjadi salah satu karakter kehidupan social masyarakat Indonesia dengan menunjukkan karakter masyarakat Indonesia yang family-oriented dan religious dan menjadi pemersatu di tengah keragaman budaya (Geertz, 1973).
Selain beberapa aspek diatas mudik pun mengisyaratkan tentang narasi kolektif suatu perjalanan yaitu cerita tentang perjuangan mudik (kemacetan, transportasi, masyarakat yang membludak dan ramai, dan lain-lain) menjadi pengalaman bersama yang memperkuat identitas sebagai bagian dari masyarakat Indonesia (Berger & Luckmann, 1966). Masyarakat Indonesia memiliki nilai-nilai kekeluargaan dan komunal yang sangat kuat. Kembali ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga besar, orang tua, dan kerabat yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai tersebut. Tradisi ini dipercaya telah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia di mana mobilitas penduduk antar daerah masih sangat terbatas. Seiring dengan perkembangan ekonomi dan urbanisasi, banyak penduduk desa yang merantau ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan atau menuntut ilmu (pendidikan). Mudik menjadi kesempatan utama bagi mereka untuk kembali dan menjalin kembali silaturahmi dengan keluarga dan komunitas di kampung halaman dan Hari Raya Idul Fitri adalah momen penting bagi umat Islam di Indonesia untuk merayakan hari kemenangan setelah sebulan berpuasa bersama keluarga di kampung halaman dan dianggap sebagai suatu keharusan serta membawa keberkahan tersendiri.


Dalam perspektif ilmu komunikasi, mudik dapat dilihat sebagai sebuah ritual komunikasi yang memperkuat hubungan sosial (Carey, 1989). Adapun dalam sudut pandang sosiokultural, mudik turut berkontribusi dalam konstruksi identitas nasional dengan mempertahankan nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong (Anderson, 1983). Konsep ritual komunikasi diperkenalkan oleh James W. Carey (1989), yang membedakan antara transmission view (komunikasi sebagai penyampaian pesan) dan ritual view (komunikasi sebagai pemeliharaan hubungan sosial). Mudik Lebaran termasuk dalam kategori ritual view karena tidak hanya berfungsi sebagai perpindahan fisik, tetapi juga sebagai proses simbolik yang memperkuat ikatan emosional.
Dalam perspektif ritual komunikasi, mudik lebaran dapat dipahami sebagai serangkaian tindakan simbolik yang dilakukan secara berulang dan memiliki makna kolektif.  Pada sudut pandang konstruksi identitas nasional, mudik berperan dalam memperkuat rasa kebersamaan dan persatuan di tengah keberagaman, serta menegaskan nilai-nilai budaya yang dianggap sebagai ciri khas bangsa Indonesia.


Mudik Lebaran sebagai Ritual Komunikasi
Dalam konteks sosiologi dan komunikasi, ritual merujuk pada serangkaian tindakan simbolik yang dilakukan secara teratur dan memiliki makna kolektif bagi para pesertanya (Durkheim, 1912; Goffman, 1967). Mudik Lebaran memenuhi kriteria ini melalui berbagai elemen ritualistik yang terkandung di dalamnya.


Pertama adalah kegiatan persiapan dan perjalanan itu sendiri yang merupakan bagian dari ritual. Antusiasme untuk kembali ke kampung halaman dan upaya mendapatkan tiket transportasi, dan perjuangan menempuh perjalanan jauh menjadi narasi kolektif yang dibagikan dan dirasakan oleh jutaan pemudik. Proses ini menimbulkan rasa solidaritas dan pengalaman bersama di antara para pemudik (ketika interaksi komunikasi terpaut diantara para pemudik) meskipun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda. Kedua, adanya pertemuan kembali dengan keluarga dan kerabat di kampung halaman merupakan inti dari ritual mudik.

Momen saling bermaaf-maafan, berbagi cerita, menikmati hidangan khas Lebaran bersama, berbagi rezeki (THR) dan mengunjungi makam leluhur merupakan tindakan simbolik yang memperkuat ikatan kekeluargaan dan mengingatkan akan akar budaya serta sejarah keluarga. Komunikasi verbal dan nonverbal yang terjadi selama pertemuan ini menegaskan kembali peran dan status masing-masing anggota keluarga dalam sistem kekerabatan. Membuka kembali simpul-simpul kekakuan dan kecanggungan komunikasi diantara para kerabat karena durasi waktu yang memisahkan mereka. Ketiga, kegiatan bertukar hadiah dan oleh-oleh  merupakan bagian penting dari ritual komunikasi mudik.

Tindakan ini melambangkan perhatian, kasih sayang, dan upaya untuk menjaga hubungan baik dengan sanak saudara dan tetangga di kampung halaman. Oleh-oleh tidak hanya memiliki nilai material, tetapi juga nilai simbolik sebagai representasi dari tempat tinggal dan pengalaman yang berbeda. Keempat, turut berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan dan budaya di kampung halaman, seperti salat Ied berjamaah, takbiran, dan berbagai tradisi lokal, memperkuat rasa kebersamaan dan identitas komunal. Ritual-ritual ini mengingatkan para pemudik akan nilai-nilai agama dan budaya yang menjadi landasan kehidupan sosial di kampung halaman mereka.


Melalui serangkaian ritual komunikasi ini, mudik lebaran tidak hanya menjadi ajang silaturahmi, tetapi juga mekanisme penting untuk memelihara dan memperbarui ikatan sosial dalam masyarakat. Jauhnya jarak dan kesibukan rutinitas sehari-hari seringkali merenggangkan hubungan kekeluargaan dan komunitas pada satu waktu tertentu. Mudik merupakan salah satu agenda penting untuk memberikan kesempatan dan merekatkan kembali hubungan tersebut melalui interaksi tatap muka dan berbagi pengalaman secara langsung.


Mudik Lebaran dan Konstruksi Identitas Nasional
Selain sebagai ritual komunikasi yang mempererat ikatan sosial, mudik lebaran juga memiliki peran signifikan dalam konstruksi dan penguatan identitas nasional Indonesia, yaitu:
1.     Adanya pengalaman kolektif mudik menciptakan rasa kebersamaan dan persatuan di antara warga negara Indonesia. Meskipun berasal dari berbagai latar belakang etnis, agama, dan sosial-ekonomi, jutaan orang secara serentak melakukan perjalanan dengan tujuan yang sama: merayakan lebaran bersama keluarga di kampung halaman. Pengalaman bersama ini, dengan segala tantangan dan suka duka, menumbuhkan rasa solidaritas dan identitas sebagai bangsa Indonesia.

2.     Sarat nilai-nilai budaya yang dihidupkan kembali ketika mudik, seperti gotong royong, saling menghormati, dan pentingnya keluarga, merupakan nilai-nilai yang dianggap sebagai bagian integral dari identitas budaya Indonesia. Melalui partisipasi dalam tradisi mudik, nilai-nilai ini di transmisikan antar generasi dan terus dilestarikan.

3.     Terdapat simbol-simbol nasional yang seringkali hadir dalam konteks mudik lebaran seperti penggunaan atribut-atribut kebangsaan, yaitu bendera Merah Putih yang terpasang di berbagai tempat, serta narasi-narasi tentang persatuan dan kesatuan bangsa yang seringkali diangkat dalam media massa selama periode mudik, memperkuat identitas nasional dalam benak Masyarakat.

4.     Adanya pengalaman kembali ke akar budaya, melalui mudik memberikan kesempatan bagi individu untuk merasakan kembali identitas lokal dan regional mereka. Namun pada saat yang bersamaan, kesadaran akan keberagaman budaya di Indonesia juga semakin meningkat melalui interaksi dengan pemudik lain yang berasal dari berbagai daerah. Proses ini memperkaya pemahaman tentang identitas nasional yang inklusif dan mengakui keberagaman sebagai kekayaan bangsa.

Secara komprehensif mudik lebaran dapat dilihat sebagai sebuah pertunjukan identitas nasional (National Identity Performance). Melalui praktik ini masyarakat Indonesia secara kolektif menunjukkan kepada diri mereka sendiri dan kepada dunia luar tentang nilai-nilai persatuan, kekeluargaan, dan keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa.


Tantangan dan Perubahan dalam Tradisi Mudik
Meskipun memiliki peran penting dalam ritual komunikasi dan konstruksi identitas nasional, tradisi mudik lebaran juga menghadapi berbagai tantangan dan mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Urbanisasi, modernisasi, dan kemajuan teknologi telah membawa dampak pada cara masyarakat berinteraksi dan merayakan hari raya. Salah satu tantangannya adalah masalah logistik dan infrastruktur akibat lonjakan pergerakan populasi yang sangat besar. Kemacetan lalu lintas, keterbatasan transportasi, dan risiko kecelakaan menjadi isu yang perlu terus diatasi. Selain itu, perubahan gaya hidup dan nilai-nilai dalam masyarakat urban juga dapat mempengaruhi intensitas dan makna mudik bagi sebagian orang. Bagi generasi muda yang tumbuh di perkotaan, ikatan dengan kampung halaman mungkin tidak sekuat generasi sebelumnya. Namun bagaimanapun juga esensi mudik sebagai ritual komunikasi dan sarana penguatan identitas nasional tampaknya masih tetap relevan. Teknologi komunikasi modern, seperti media sosial dan aplikasi pesan instan, justru dapat memperkuat dimensi komunikasi dalam mudik, memungkinkan interaksi dan berbagi pengalaman meskipun tidak selalu hadir secara fisik.


Kesimpulan
Tradisi mudik lebaran di Indonesia merupakan fenomena sosial-budaya yang kaya dan sarat makna. Dalam perspektif ritual komunikasi, mudik merupakan serangkaian tindakan simbolik yang mempererat ikatan sosial antarindividu dan keluarga melalui pertemuan kembali, pertukaran hadiah, dan partisipasi dalam kegiatan keagamaan dan budaya di kampung halaman. Sementara itu, dalam konteks konstruksi identitas nasional, mudik berperan penting dalam menciptakan pengalaman kolektif, menghidupkan kembali nilai-nilai budaya, dan memperkuat rasa kebersamaan serta persatuan di tengah keberagaman bangsa Indonesia. Meskipun menghadapi berbagai tantangan dan perubahan, tradisi mudik lebaran tetap menjadi bagian integral dari kehidupan sosial dan budaya di Indonesia. Pemahaman yang mendalam tentang signifikansi mudik dalam perspektif ritual komunikasi dan konstruksi identitas nasional dapat membantu dalam merumuskan kebijakan dan upaya pelestarian tradisi yang lebih efektif, sekaligus mengoptimalkan potensi positifnya dalam memperkuat kohesi sosial dan identitas kebangsaan.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button