
Ditulis Oleh: Djumriah Lina Johan
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Bujurnews.com – Para guru melakukan aksi mogok di sejumlah sekolah di Kabupaten Kutai Barat. Hal ini dilatarbelakangi beberapa tuntutan, di antaranya setarakan tambahan penghasilan pegawai (TPP) sesuai dengan kelas jabatan berlaku, menolak keras pemotongan terhadap TPP guru dengan alasan apa pun.
Aksi ini dilakukan setelah upaya pertemuan pemecahan masalah dengan pemerintah menemui jalan buntu. Para guru di Kutai Barat merasa sangat prihatin dan kecewa atas ketidakadilan yang terjadi dalam penerimaan TPP. TPP yang diterima saat ini tidak sesuai dengan kelas jabatan dan tanggung jawab sebagai pendidik.
Lebih mengejutkan lagi, Pemkab Kubar menyebut ada efisiensi anggaran yang menyebabkan pemotongan TPP. Padahal, sesuai dengan Inpres No 1/2025, belanja pegawai tidak boleh dipotong. Terkait aksi mogok tersebut terungkap beberapa fakta TPP Guru ASN tahun 2025 dibayar berdasarkan Surat Edaran (SE) Bupati Kutai Barat Nomor 900 Februari 2025.
Efek Efisiensi Anggaran
Sungguh mengenaskan nasib para guru kini. Gaji mereka rendah. Tunjangan tambahan tidak seberapa besar. Sekarang malah dipotong. Padahal, mereka bukan guru honorer.
Sebagaimana fakta di atas, adanya pemotongan TPP disebabkan oleh kebijakan efisiensi anggaran. Sebelumnya, Presiden Prabowo telah meneken Inpres 1/2025 tentang Efisiensi APBN dan APBD Tahun 2025 yang menetapkan efisiensi anggaran sekitar Rp306,6 triliun melalui penghematan belanja kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp50,5 triliun.
Namun, efek yang ditimbulkan menjadi masalah. Bagaimana tidak? efisiensi anggaran itu justru terjadi di sektor-sektor yang vital untuk publik, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan industri. Sektor pendidikan sendiri dalam anggaran Kemendikdasmen mengalami pemangkasan sebesar Rp8 triliun. Sedangkan sebelum efisiensi saja anggaran pendidikan belum memadai karena harus dibagi untuk seluruh K/L yang juga menyelenggarakan pendidikan, tidak hanya untuk kementerian yang khusus membidangi pendidikan seperti Kemendikdasmen dan Kemenristekdikti.
Dengan demikian, wajar bila kita untuk menyatakan bahwa pemerintah kurang memprioritaskan pendidikan. Padahal, sejatinya guru adalah ujung tombak pendidikan karena mereka berinteraksi langsung dengan peserta didik. Namun, karena gaji yang tidak mencukupi membuat profesi mulia tersebut sarat ketidakadilan dan ketidaksejahteraan.
Dalam sistem kapitalisme, tenaga kerja, termasuk guru, dipandang sebagai aset produksi yang dapat dikomersialisasi dan ditekan pembiayaannya. Demi mengejar efisiensi dan keuntungan maksimal, eksploitasi terhadap para guru selaku pihak yang berposisi sebagai pekerja, dianggap hal yang lumrah. Hal ini sejalan dengan prinsip ekonomi kapitalisme, yaitu meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan modal yang serendah-rendahnya.
Penerapan sistem ekonomi kapitalisme menjadi salah satu penyebab minimnya anggaran pendidikan. Dalam sistem ini, SDA yang sejatinya milik seluruh rakyat dan jumlahnya melimpah, justru dapat dikuasai secara bebas oleh pihak swasta maupun asing. Negara, yang seharusnya bertanggung jawab dalam mengelola SDA dan mengembalikan keuntungannya kepada rakyat, justru hanya berperan sebagai regulator. Tidak heran jika negara kehilangan potensi pemasukan besar dari sektor ini. Kekayaan SDA akhirnya hanya menjadi ajang bancakan bagi pihak swasta dan asing, sedangkan negara hanya memperoleh bagian dari pajaknya saja.
Di sisi lain, negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, bukan sebagai penanggung jawab utama atas kesejahteraan rakyat dan kualitas generasi. Wajar jika pemerintah lebih memilih menganggarkan gaji dan tunjangan yang minim bagi guru demi menekan beban pengeluaran negara, meskipun tanggung jawab mereka berat, yakni mencerdaskan bangsa.
Pemerintah pun tampak belum benar-benar serius memperhatikan kualitas layanan pendidikan. Alasannya, sektor ini membutuhkan anggaran besar, sementara hasilnya tidak dapat dirasakan secara instan. Padahal, pendidikan sejatinya merupakan investasi jangka panjang yang menjadi fondasi peradaban dan kemajuan bangsa. Alih-alih mengalokasikan dana besar demi menghadirkan layanan pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat, pemerintah justru memilih mengefisiensi anggaran yang sejak awal sudah kurang.
Kesejahteraan Guru dalam Perspektif Islam
Di dalam Islam, peran guru sangat vital dalam hal keilmuan serta pendidikan dan pembinaan generasi. Guru adalah pihak yang bertemu dan berinteraksi langsung dengan peserta didik, serta melaksanakan proses pembelajaran dan mendidik mereka. Guru adalah ujung tombak pelaksanaan sabda Rasulullah saw., “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah)
Terkait keilmuan, Rasulullah saw. juga bersabda, “Jika seorang manusia meninggal, terputuslah amalnya, kecuali dari tiga hal, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang berdoa untuknya.” (HR Muslim)
Berdasarkan kedua hadis tersebut, sejatinya para guru sangat pantas memperoleh penghargaan yang tinggi, baik di dunia maupun akhirat. Di dunia mereka layak memperoleh kesejahteraan yang sepadan dengan jasanya dalam rangka mencerdaskan generasi dan umat. Bahkan, ilmu yang mereka sampaikan kepada para murid adalah amal yang tidak terputus meski mereka telah wafat.
Mengingat besarnya jasa guru sebagai ujung tombak peradaban, tidak heran jika para khalifah sepanjang sejarah peradaban Islam memberikan gaji yang sangat besar kepada mereka. Sebagai contoh, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqah ad-Dimasyqi, dari al-Wadhi’ah bin Atha, bahwa Khalifah Umar bin Khaththab ra. memberikan gaji sebesar 15 dinar per bulan (1 dinar = 4,25 gram emas). Jika dikonversi dengan harga emas saat ini (Rp1.900.000 per gram), gaji tersebut setara dengan Rp121.125.000 per bulan.
Pada masa Shalahuddin al-Ayyubi, gaji guru bahkan lebih tinggi. Di dua madrasah yang beliau dirikan, yaitu Madrasah Suyufiyah dan Madrasah Shalahiyyah, gaji guru berkisar antara 11 hingga 40 dinar. Jika dikonversi, nilainya mencapai Rp88 juta hingga Rp323 juta per bulan. Pada masa Khilafah Abbasiyah, para pengajar, fuqaha, dan ulama yang mengajar di berbagai universitas di Bagdad menerima gaji sebesar 300.000 dinar per tahun. Jika dihitung berdasarkan nilai emas saat ini, jumlah tersebut setara dengan Rp15,75 miliar per bulan.
Selain itu, khalifah juga berkewajiban menyediakan kemudahan akses terhadap sarana dan prasarana yang dibutuhkan para guru untuk meningkatkan kualitas dan kompetensinya. Dengan demikian, guru dapat fokus menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak generasi berkualitas tanpa harus mencari penghasilan tambahan.
Pembiayaan tersebut dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam. Ia menyebutkan gaji guru adalah salah satu anggaran yang diprioritaskan oleh negara Islam (Khilafah) meski di baitulmal sedang mengalami krisis (tidak ada harta). Ini karena para guru adalah orang-orang yang melaksanakan pekerjaan berupa pelayanan masyarakat dan kemaslahatan kaum muslim. Khilafah bisa memberlakukan kebijakan pemungutan pajak temporer (dharibah) dari kalangan muslim laki-laki yang kaya sehingga baitulmal tidak kosong dan mampu membayar gaji guru.
APBN Islam memiliki sejumlah sumber pemasukan yang telah ditetapkan menurut dalil syarak dengan masing-masing sumber dana memiliki jumlah yang banyak sehingga kas baitulmal aman. Perihal ini, Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah memerinci di dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah) bahwa pendapatan negara di baitulmal memiliki tiga pos besar, yakni pos fai dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos sedekah (zakat).
Jenis-jenis harta yang termasuk di dalam pos fai dan kharaj meliputi ganimah, kharaj, tanah, jizyah, usyur, rikaz, dan pajak (dharibah). Selanjutnya pos kepemilikan umum mencakup seluruh harta milik umum, seperti minyak dan gas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, padang rumput penggembalaan, dan tempat khusus berupa hima. Sedangkan pos sedekah (zakat) menjadi tempat penyimpanan harta zakat yang wajib beserta catatan-catatannya. Alokasi harta zakat hanya boleh untuk delapan golongan sebagaimana ketentuan di dalam Al-Qur’an.
Khilafah mengelola sumber daya alam secara mandiri dan tidak menyerahkannya kepada swasta, baik lokal maupun asing. Khilafah juga tidak akan terlibat dalam pasar uang yang sangat rentan menimbulkan ketakstabilan ekonomi. Selain itu, kebutuhan-kebutuhan publik, seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, dan transportasi bisa tersedia gratis karena merupakan wujud pelayanan negara kepada rakyat. Wallahualam bissawab.