
Bujurnews.com — Di bawah langit senja di Jalan Gajah Mada, suara rakyat Kalimantan Timur membuncah dalam satu seruan: menuntut keadilan Dana Bagi Hasil (DBH). Pada Rabu (16/10/2025), Laskar Pemuda Adat Dayak Kalimantan Timur (LPDKT) bersama berbagai elemen masyarakat turun ke jalan, dipimpin langsung oleh Ketua Umum Vendy Meru, menyuarakan ketidakadilan fiskal yang mereka nilai merugikan daerah penghasil sumber daya alam.
Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa, melainkan panggung aspirasi rakyat yang menyatukan tokoh adat, mahasiswa, dan masyarakat umum di bawah satu semangat: “Kaltim bukan anak tiri.” “DBH Milik Rakyat Kaltim”
Dengan suara tegas dan lantang, Vendy Meru menegaskan bahwa perjuangan ini lahir dari kegelisahan masyarakat terhadap pemotongan dana yang dinilai tidak masuk akal.
“Kami dari LPDKT hadir bukan untuk politik, tapi untuk membela hak rakyat. DBH adalah milik kita, hasil keringat dan kekayaan alam Kaltim yang menyumbang Rp858 triliun ke PDB nasional tahun 2024. Tapi kenapa 75 persen dana kita dipotong? Bagaimana kita membangun daerah ini?” ujarnya disambut sorakan massa.
Aksi dimulai pukul 14.30 WITA, dibuka dengan tarian Hudoq, ritual adat yang melambangkan kekuatan dan perlindungan alam. Dari panggung rakyat hingga mimbar bebas, tuntutan demi tuntutan mengalir deras, menandai momentum perlawanan masyarakat terhadap kebijakan fiskal yang timpang.
Dalam pernyataannya, LPDKT menyampaikan tiga tuntutan utama kepada pemerintah pusat:
1. Menghentikan pemotongan Dana Bagi Hasil (DBH) yang dinilai tidak proporsional.
2. Mengembalikan minimal 50 persen pendapatan sumber daya alam kepada daerah penghasil.
3. Melibatkan masyarakat Kaltim dalam setiap kebijakan nasional terkait pengelolaan SDA.
“Batu bara kita mengalirkan miliaran rupiah setiap hari — satu kereta saja 7.000–8.000 ton, nilainya puluhan triliun. Tapi lihat Bandara APT Pranoto, fasilitasnya seadanya. Ini keadilan yang kami tuntut,” tegas Vendy.
Simbol Perjuangan dan Persatuan
Suasana aksi semakin hidup dengan kehadiran tokoh adat yang membawa filosofi “tikus di lumbung padi” sindiran bagi rakyat yang kaya sumber daya tapi miskin manfaat.
Sementara mahasiswa membawa spanduk bertuliskan “DBH Hak Rakyat” dan membacakan data ketimpangan fiskal antardaerah.
“Kami bersatu tanpa pandang suku, agama, atau golongan. Ini panggilan hati untuk Kaltim yang kami cintai,” ujar Vendy di tengah riuh massa yang memadati area aksi.
Usai mimbar bebas, rombongan LPDKT bergerak menuju Kantor Gubernur Kalimantan Timur. Di sana, mereka berencana menyerahkan surat pernyataan dan wadah simbolis berisi air Sungai Mahakam serta batu bara kepada Gubernur Rudy Mas’ud lambang kekayaan dan luka alam Kalimantan Timur.
“Kami beri tenggat 14 hari untuk pemerintah pusat merespons. Presiden Prabowo pernah berjanji pada rakyat Kaltim. Jika tak diindahkan, kami akan pertahankan martabat dengan cara kami,” tegas Vendy.
Ia juga mengingatkan kembali aksi penutupan jalur Sungai Mahakam beberapa tahun lalu, yang kala itu berdampak nasional — isyarat bahwa masyarakat Kaltim tak segan bertindak jika hak mereka diabaikan.
Awal dari Perjuangan Panjang
Di balik semangat yang membara, terselip kekhawatiran mendalam: pemotongan DBH bisa memicu krisis fiskal di daerah penghasil SDA.
Namun bagi LPDKT, aksi ini bukan akhir melainkan awal perjuangan panjang untuk menegakkan keadilan.
Seperti Sungai Mahakam yang terus mengalir, semangat rakyat Kaltim pun tak pernah surut. Mereka tak lagi ingin menjadi penonton di tanah sendiri. Hari ini, suara Kaltim bergema hingga Jakarta, menuntut hak yang selama ini terpendam di balik tumpukan batu bara dan janji pembangunan.