
Bujurnews, Jakarta — Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto memicu sorotan tajam dari berbagai kalangan.
Pengamat hukum tata negara Feri Amsari menyebut langkah tersebut tak bisa dilepaskan dari manuver politik tingkat tinggi yang membalut kedua kasus itu sejak awal.
Feri menilai, meskipun abolisi dan amnesti merupakan hak prerogatif presiden sesuai Pasal 14 UUD 1945, penggunaannya harus tetap berpijak pada prinsip keadilan, bukan kepentingan politik.
“Punya kepentingan dan background politik, maka tentu saja langkah-langkah berikutnya akan penuh dengan berbagai drama politik tingkat tinggi juga,” ujar Feri saat dihubungi, Jumat (1/8/2025).
Abolisi untuk Tom Lembong: Di Tengah Vonis Kasus Gula
Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan 2015–2016, sebelumnya divonis bersalah dalam kasus dugaan korupsi impor gula. Namun, sebelum proses hukum tuntas, Presiden Prabowo mengirim Surat Presiden No. 43 tertanggal 30 Juli 2025 kepada DPR RI untuk meminta pertimbangan pemberian abolisi.
DPR menyetujui permintaan tersebut. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan bahwa abolisi terhadap Tom Lembong resmi diberlakukan setelah mendapat persetujuan parlemen.
Keputusan ini dinilai kontroversial karena muncul saat opini publik tengah sensitif terhadap praktik korupsi dan penegakan hukum yang dinilai tebang pilih.
Amnesti untuk Hasto: Politik Uang dan Jejak Harun Masiku
Tak kalah mengejutkan, Prabowo juga menerbitkan Surat Presiden No. 42 tanggal 30 Juli 2025 yang memberikan amnesti kepada 1.116 terpidana, termasuk Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Hasto sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara karena memberikan uang Rp400 juta kepada Komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam kasus suap terkait pencalonan Harun Masiku — buronan lama yang belum tertangkap hingga kini.
Feri Amsari menilai langkah ini sebagai preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi.
“Jika presiden menggunakan kewenangannya bukan atas dasar keadilan, maka ini justru merusak fondasi hukum dan menjadi alat politik untuk menyandera atau menyelamatkan aktor tertentu,” ujar Feri.
Motif Politik, Bukan Hukum
Menurut Feri, pengampunan dalam bentuk abolisi dan amnesti seharusnya diberikan pada narapidana atau terdakwa dengan pertimbangan kemanusiaan atau korban kriminalisasi. Namun dalam dua kasus ini, narasi politik lebih dominan ketimbang pertimbangan objektif hukum.
“Kalau motifnya politik, maka peradilan hanyalah panggung legitimasi. Ini berbahaya bagi masyarakat dan demokrasi kita,” tegasnya.
Polemik Baru di Awal Pemerintahan
Langkah Presiden Prabowo ini menandai dinamika awal pemerintahannya yang langsung diwarnai dengan kontroversi besar. Di satu sisi, keputusan ini menunjukkan penggunaan aktif terhadap hak prerogatifnya. Namun di sisi lain, publik kini menuntut transparansi dan konsistensi penegakan hukum — terutama dalam kasus yang menyentuh elite kekuasaan.