
Bujurnews, Samarinda — Pembongkaran paksa Pasar Subuh oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda pada Jumat pagi memicu ketegangan antara aparat dan pedagang. Sebanyak 57 pedagang yang telah lama berjualan di lokasi tersebut dipindahkan ke Pasar Beluluq Lingau di Jalan PM Noor. Langkah ini diambil menyusul permintaan pemilik lahan agar kawasan tersebut segera dikosongkan.
Namun, proses relokasi ini mendapat kritik tajam dari berbagai pihak. Wakil Ketua DPRD Samarinda, Ahmad Vananzda, menyayangkan tindakan sepihak tanpa adanya dialog terlebih dahulu antara pemerintah dan pedagang. Ia menekankan pentingnya musyawarah untuk mencari solusi yang menguntungkan semua pihak. “Sejak awal, kami sudah meminta agar sebelum dilakukan penggusuran, terlebih dahulu dilakukan mediasi melalui musyawarah,” ujarnya.
Ketegangan semakin memuncak saat pembongkaran berlangsung. Sejumlah mahasiswa turut hadir dan terjadi aksi saling dorong dengan aparat Satpol PP. Pedagang pun merasa kehilangan, bukan hanya tempat berjualan, tetapi juga bagian dari sejarah hidup mereka.
Pasar Subuh, yang terletak di Jalan Yos Soedarso, memiliki nilai historis bagi warga Samarinda. Sejak tahun 1960-an, pasar ini telah menjadi pusat aktivitas ekonomi dan sosial. Awalnya dikenal sebagai Pasar Pagi, pasar ini berkembang seiring pertumbuhan kota dan menjadi saksi bisu perubahan sosial-ekonomi masyarakat.
Meskipun Pemkot Samarinda menegaskan bahwa penertiban dilakukan sesuai prosedur dan telah menyiapkan lokasi relokasi yang memadai, banyak pihak menilai bahwa pendekatan yang lebih humanis dan komunikatif seharusnya diutamakan. Ahmad Vananzda menambahkan, “Kami hanya ingin ada waktu untuk mencari solusi bersama. Menunda seminggu, dua minggu, atau sebulan pun saya yakin negara tidak akan rugi.” (ape/ja)